Cherreads

Chapter 25 - Chapter 25 — The Silence Between Wings

Dua hari berlalu sejak mereka meninggalkan reruntuhan.

Langit tetap muram — abu dan salju bergantian menutupi dunia seperti kabut kelam yang tak kunjung reda.

Mereka berjalan tanpa banyak bicara. Seraphina masih belum cukup kuat untuk terbang jauh, dan Eric tak memaksa. Kadang mereka berhenti di tepi sungai beku, kadang di bawah pohon hitam yang daunnya gugur seperti abu.

Tidak ada musuh, tidak ada pertempuran. Hanya keheningan yang aneh… dan waktu yang seolah melambat.

---

Sore itu, mereka berhenti di tepi lembah.

Langit jingga memantul di sayap Seraphina yang rusak — seperti cahaya terakhir yang enggan padam.

Eric duduk di atas batu, menatap lembah di bawah. "Kau tahu," katanya pelan, "aku hampir lupa seperti apa rasanya hidup tanpa harus waspada setiap saat."

Seraphina menoleh, matanya berkilat lembut. "Kau merindukannya?"

"Tidak tahu." Eric tersenyum tipis. "Mungkin aku sudah terlalu terbiasa dengan perang. Dengan berlari dari satu bencana ke bencana lain."

Dia tertawa kecil — suara yang jarang terdengar akhir-akhir ini. "Ironis. Kau manusia, tapi aku yang merasa lebih damai di tengah kekacauan."

Eric menatapnya. "Dan kau naga, tapi kau yang paling tahu artinya kehilangan."

Seraphina terdiam. Angin berembus, membuat rambut peraknya bergetar halus.

Dia menunduk sedikit. "Kau pikir aku tak takut?"

Eric menunggu, tak menjawab.

"Setiap kali aku menutup mata," lanjutnya, "aku melihat wajah mereka — saudara-saudaraku, ibu, bahkan Drakonis… sebelum ia menjadi monster. Aku bertanya-tanya apakah aku bisa berbuat sesuatu. Apakah aku salah memilih untuk hidup?"

Dia menatap tangannya, seolah setiap sisik membawa dosa yang tak bisa dicuci bersih.

"Kadang aku berpikir… mungkin aku hanyalah bagian dari kehancuran itu."

Eric bangkit, lalu berdiri di hadapannya. "Dan mungkin," katanya pelan, "kau juga bagian dari yang akan memperbaikinya."

Seraphina mengangkat wajahnya, menatap mata Eric. Ada sesuatu dalam tatapan itu — bukan penghiburan, tapi keyakinan yang nyaris menyakitkan.

"Bagaimana kau bisa begitu yakin?" tanyanya.

"Karena kalau tidak," jawab Eric, "semua ini tidak ada artinya."

---

Malamnya, mereka berkemah di bawah langit yang tak berbintang.

Api kecil di antara mereka menari pelan, memantulkan warna oranye di kulit Seraphina yang keemasan.

"Dulu," kata Eric tiba-tiba, "aku takut tidur. Takut bangun dan kehilangan semuanya."

Seraphina menatapnya dengan tenang. "Dan sekarang?"

"Sekarang aku takut kalau aku tidur… aku akan berhenti berjuang."

Dia tertawa pelan, tapi tawa itu hambar. "Lucu, ya? Dulu aku hanya ingin hidup tenang. Tapi sekarang aku bahkan tidak tahu apa artinya tenang."

Seraphina menatap api. "Kau berubah."

Eric mengangguk. "Dan kau?"

Dia tersenyum samar. "Aku tidak tahu apakah berubah… atau hanya mulai mengingat siapa aku sebenarnya."

Keheningan jatuh lagi di antara mereka.

Tapi bukan keheningan yang berat — lebih seperti jeda sebelum seseorang menulis kalimat penting.

---

Beberapa jam kemudian, Seraphina terbangun. Api sudah padam.

Eric tidur bersandar di batu, wajahnya lelah, tapi damai. Untuk pertama kalinya, Seraphina menatapnya tanpa rasa takut — hanya rasa aneh di dadanya, seperti sesuatu yang ingin keluar tapi tak punya nama.

Ia mendekat perlahan, menatap wajahnya lebih dekat. "Kau manusia aneh," bisiknya.

Lalu, tanpa sadar, ia menyentuh pipinya.

Hangat.

Dan di saat itu — sesaat, tapi nyata — dia merasa seperti bukan lagi naga, bukan makhluk terkutuk yang menanggung darah iblis, tapi seseorang yang… diizinkan untuk peduli.

Namun sebelum ia sempat menarik tangannya, Eric bergumam dalam tidurnya.

"Jangan pergi…"

Seraphina membeku.

Untuk sesaat, ia menahan napas.

"Jangan…" lanjut Eric pelan, masih setengah sadar, "…aku belum siap kehilangan lagi."

Air mata hangat mengalir di sudut matanya tanpa ia sadari. Ia menatap wajah lelaki itu lama, lalu berbisik, nyaris tak terdengar,

"Aku juga."

---

Keesokan paginya, mereka melanjutkan perjalanan.

Namun sesuatu telah berubah — kecil, tapi nyata. Mereka berjalan lebih dekat, berbicara lebih lembut. Tidak ada lagi jarak yang tegang seperti sebelumnya.

Ketika mereka melewati jurang sempit yang dipenuhi kabut, Seraphina berhenti mendadak. "Eric… dengar."

Eric mengangkat kepalanya. "Apa?"

"Suara sayap," jawabnya pelan.

Mereka berdua menahan napas, tapi suara itu lenyap — hanya gema angin.

Seraphina menatap langit dengan curiga, lalu menunduk lagi. "Tidak. Bukan musuh. Hanya gema dari masa lalu."

Eric menatapnya, bingung. "Maksudmu?"

"Dulu di lembah ini," jelasnya, "kaumku biasa terbang bersama setiap malam bulan purnama. Mereka percaya gema sayap naga yang mati masih bisa terdengar oleh mereka yang punya darah naga."

Eric menatap lembah kosong itu. "Jadi mereka… masih di sini?"

Seraphina mengangguk pelan. "Dalam kenangan. Dalam api yang belum padam."

---

Saat mereka beristirahat di tepi jurang itu, Seraphina memandang jauh ke arah timur — arah Ember Hall.

Matanya menajam, tapi suaranya lembut. "Aku mulai mengerti sesuatu."

"Apa?"

"Bahwa semua perjalanan ini… bukan hanya untuk menghancurkan Drakonis." Ia menatap Eric. "Tapi untuk menemukan kembali siapa aku sebelum kutukan itu."

Eric menatapnya lama. "Dan siapa kau, sebelum semuanya?"

Dia terdiam sejenak, lalu menjawab lirih,

"Seorang penjaga. Bukan penghancur."

---

Ketika malam turun lagi, mereka berhenti di sebuah batu besar yang menyerupai altar. Dari sana, mereka bisa melihat nyala samar di kejauhan — cahaya merah yang berkedip di ufuk. Ember Hall.

Eric berdiri di sisi Seraphina. "Kau siap?"

Seraphina menatap cahaya itu lama, lalu berkata pelan, "Tidak. Tapi mungkin tidak ada yang pernah benar-benar siap untuk menghadapi dirinya sendiri."

Eric mengangguk. "Kalau begitu, kita hadapi bersama."

Dia menatapnya, lalu tersenyum kecil. "Bersama."

Dan untuk pertama kalinya sejak semuanya dimulai, kata itu terasa benar — bukan sebagai janji perang, tapi sebagai pengakuan dua jiwa yang berjalan di arah yang sama, meski mereka berasal dari dua dunia yang berbeda.

---

Malam itu, ketika mereka beristirahat di dekat api kecil, Seraphina berkata pelan tanpa menatapnya,

"Eric, kau tahu arti nama Ember Hall?"

Eric menoleh. "Tidak. Apa?"

"Dalam bahasa naga kuno, artinya 'tempat di mana api berhenti membakar.'"

Dia menatap langit yang gelap. "Mungkin… itu juga tempat di mana hati berhenti melarikan diri."

Eric tersenyum kecil. "Kalau begitu, mari kita temukan tempat itu."

More Chapters