Cherreads

Chapter 1 - KATA YANG BERUBAH SEGALANYA

Awal mula semuanya karena satu kata: keluar.

"Akai, aku ingin keluar dari pekerjaan ini, bos."

Suaranya terdengar tegas meskipun dada berdebar kencang, seolah-olah jantung mau melompat keluar dari dada. Di hadapannya, bosnya duduk di kursi kulit hitam yang mengeras, badannya menonjol seperti buaya yang siap menyerang. Matanya menyipit seperti ular yang baru melihat mangsanya, memilah setiap gerakan Akai dengan waspada. Di sebelahnya, Akari—tanggapan kanan yang selalu kejam, dengan wajah yang tidak pernah menunjukkan emosi—langsung mengangkat pistol dari sabuk pinggangnya.

"Bunuh dia sekarang. Dia tidak berguna lagi bagi kita."

"Siap, pak."

Tiga pembunuh bayaran melesat keluar dari ruangan seperti arus deras yang tidak bisa dihentikan. Akai tidak sempat berpikir dua kali—dia melesat ke luar melalui pintu belakang, melompat ke motornya yang terparkir di teras, dan menyalakan mesin dengan bunyi mendesis yang mendebarkan. Ban menyentuh aspal yang panas karena matahari siang, dan dia melaju secepat kilat, sambil melihat cermin kaca spion—tiga motor lain mengejarnya dengan kecepatan mematikan, lampu depannya menyala seperti mata monster yang lapar.

Jalan raya yang mulanya lurus berubah menjadi jalan tanah yang licin, memasukinya ke dalam hutan lebat yang sunyi. Hanya bunyi angin yang bertiup dan kayu-kayu kering yang berderak keras di bawah ban motor. Tiba-tiba, bunuh bayaran pertama mengangkat senjata dari balik jok motornya. Tung! Tung!

Salah satu peluru menembus bagian atas kakinya. Rasa sakit menyengat seperti semut ribuan yang menggigit sekaligus, tapi Akai tidak berhenti. Dia menggoyangkan stang motor dengan kuat, membuatnya berbelok ke sisi semak tebal yang berdaun lebat, menyembunyikan dirinya dari pandangan pengejar. Dua pembunuh bayaran mendekat, menembak berulang-ulang—peluru menembus daun dan batang pohon di sekitarnya, membuat bunyi kret! kret! yang menggigit telinga.

Akai menyentuh saku pinggangnya, mengeluarkan pistol yang tersembunyi di balik pakaiannya. Tanpa melihat ke belakang, dia menembak mundur sambil tetap melaju. Tung! Peluru menembak tepat ke leher pembunuh pertama—dia terlempar dari motornya, jatuh ke semak dan tidak terdengar lagi suaranya, hanya bunyi daun yang terkopi.

Pembunuh kedua marah seperti harimau yang kejar mangsa, menambah gas sepenuhnya dan menyusul dari depan. Akai menunduk rendah, menghindari peluru yang terbang melewati kepalanya dengan jarak sempit—hanya selisih sentimeter saja. Saat jarak antara mereka hanya beberapa meter, dia menembak tepat ke roda depan motor lawan. Bruk! Roda motor mogok dan berguling, pembunuh kedua terlempar ke tanah dan menabrak batang pohon besar dengan bunyi keras—mati seketika.

Hanya satu yang tersisa, tapi tiba-tiba motor lain menyusul dari sisi. Seorang pria dengan rambut pirang yang terlihat jelas membuka jendela helmnya—Yuji, saingan lamanya yang selalu iri padanya, yang sudah bersaing selama bertahun-tahun untuk menjadi "pembunuh nomor satu". "Hei sialan! Cukup baik untuk membunuh dua temanku, tapi kau tidak akan lolos dari ku!"

Akai tidak menjawab, malah menambah gas meskipun rasa sakit di kakinya makin parah. Motornya melesat melewati semak-semak, sampai akhirnya mereka keluar ke jalan raya lagi. Di tikungan tajam yang licin karena hujan tadi, rasa sakit membuatnya gagal membelok dengan tepat. Motornya tergelincir ke samping, Akai terlempar ke aspal dengan bunyi brukk! yang keras, membuat badannya terasa patah-patah.

Yuji turun dari motornya, berjalan perlahan mendekati seperti pemangsa yang menghampiri mangsa yang lemah. Langkahnya pelan tapi pasti, matanya menyala dengan kebencian yang dalam seperti api yang tidak padam. "Sialan! Karena kau, aku harus bekerja keras untuk jadi nomor satu! Jika kau tidak ada, aku sudah duduk di posisinya! Mengapa kau harus ada?"

Akai terbaring di aspal, nafas terengah-engah, keringat membasahi wajahnya yang kering. "Banjingan... aku ingin sekali jadi tanggan kananmu... mengapa kau tidak menerima aku?" Suaranya lemah, hampir tidak terdengar. "Aku sudah membunuh dan berikan segalanya... hanya untuk berada di samping mu..."

akai tertawa kering, bunyinya sekeras batu. "Bukan begitu. Aku hanya melindungi mu dari bos gila itu. Percaya lah, Yuji."

"Percaya? Hahahahaha! Omong kosong apa itu!" Yuji mengangkat pistolnya ke arah perut Akai, jari jempolnya sudah menempel di pelatuk. "Percayalah, nanti jika kau tidak berguna, kau akan sama seperti ku."

"Sama? Aku dengan kau berbeda jauh!"

Yuji menekan pelatuk pistol. Tung! Peluru menembus perut Akai. Rasa sakit menyiksa yang lebih parah dari sebelumnya menyebar ke seluruh tubuhnya. "Kau sekarang jauh lebih lemah dan tua! Sadar lah!"

Akai menahan rasa sakit dengan semua kekuatan, matanya mulai kabur. Yuji memutar pistolnya, mengarah ke kepala Akai. "Akhirnya... aku di posisi pertama setelah sekian lama. Selamat malam dan selamat tinggal, pembunuh nomor satu."

Tung!

Peluru menembus kepala. Yuji tertawa puas, lalu berjalan meninggalkan tempat itu tanpa melihat ke belakang. Tanpa sadar, tubuh Akai perlahan-lahan menghilang tanpa jejak, seperti ditarik oleh sesuatu yang tidak terlihat ke dalam kegelapan.

"Di mana aku... mengapa dingin sekali..."

Suara Akai terdengar samar, seolah-olah terbang di udara yang kosong. Seolah-olah dia berada di ruang yang gelap dan sunyi, tanpa bunyi apapun—hanya keheningan yang membanjiri. Tiba-tiba, seorang sosok dengan cahaya di sekelilingnya muncul—seorang dewi dengan wajah cantik dan mata yang penuh belas kasihan, rambutnya terbang seperti awan.

"Akai, kau sekarang ada di dunia lain." Suaranya lembut seperti angin pagi yang menyentuh kulit. "Aku sudah melihat penderitaanmu sejak kecil. Bukan salah mu menjadi pembunuh—kau terpaksa karena ekonomi dan kondisi mu yang sulit. Aku akan memberimu kesempatan kedua."

"Kesempatan kedua?"

"Tolong pengikut ku dan lindungi mereka. Aku akan selalu menyertai mu."

Cahaya yang awalnya gelap tiba-tiba menjadi terang menyilaukan, membuat Akai menutupi mata. Dia terbangun dengan mendadak, terbaring di ranjang kayu dengan bantal yang lembut. Tubuhnya dioleskan obat dari tanaman yang berbau segar, dan luka di kepala serta perutnya sudah hilang—hanya ada bekas merah yang memerah di tempat itu.

"Aku... bukan aku tertembak?" Dia merabah kepalanya dengan ragu, merasa kulit yang halus dan tidak ada bekas luka sama sekali. Seolah-olah semua itu hanya mimpi.

Tiba-tiba, pintu terbuka. Seorang wanita dengan telinga runcing dan rambut pirang muda muncul, membawa ember berisi air jernih. Akai segera bangkit, menyandera dia dengan tangan yang kuat, matanya penuh waspada.

"Katakan! Di mana aku ini?!"

Wanita itu gemetar, mata penuh ketakutan, tidak berani bergerak. "Kau... kau ada di hutan para elf, tuan."

"Elf? Negara mana itu? Aku tidak tahu apa yang kau maksud!"

kesempatan kedua tiba-tiba terlintas di benak Akai. Wanita elf menaruh ember air di meja dan pergi dengan cepat, takut melanjutkan bicara. Akai mengambil air dari ember dan mencuci mukanya—namun dia baru sadar akan cahayanya yang tercermin di permukaan air.

Muka aku... kembali muda.

Ini wajah yang aku kenal dari masa muda—wajah berusia 17 tahun dengan mata yang unik, bermata biru, dan tubuh yang kembali berotot seperti saat dia baru mulai menjadi pembunuh. "Harusnya aku sudah tua... berumur 59 tahun... mengapa seperti ini?" dia berbisik, terdiam beberapa saat. Adakah ini keajaiban, atau hanya halusinasi sebelum kematian? Dia mencoba berfikir logis, tapi tidak bisa menemukan jawaban yang masuk akal.

Tiba-tiba, pintu terbuka lagi. Seorang pria dengan rambut pirang pendek dan bajunya tentara masuk,. Dia melihat Akai yang kaget dan menjelaskan dengan nada tenang: "Kau kembali muda karena kita mendapatkan anugrah dari dewi sini. Dia yang memberikan kesempatan kedua dan meminta kita melindungi pengikutnya."

"Anugrah dewi? Tidak masuk akal. Aku tidak percaya akan Tuhan atau dewi—mereka hanya karangan manusia untuk kita percayai."

"Haaa, tidak. Dewa dan dewi itu ada, cuma kau yang tidak percaya." Jack duduk di bangku dekat ranjang, menyegerakan napasnya. "Jika tidak ada, lantas mengapa kau bisa selamat dan datang ke dunia ini? Itu karena dewi memberikan kita kesempatan—jika tidak, kau sudah mati sepenuhnya."

Akai terdiam, mata memandang Jack dengan ragu. Lalu dia menanyakan: "Di mana kita berada?"

"Kita berada di dunia sihir dan monster. Dunia ini seperti abad 10, sedangkan dunia kita berada di abad 21, kan?"

"Tunggu... mengapa kau tahu aku dari dunia lain?"

"Ada wanita bernama Hana—dia juga sama seperti kita, datang dari dunia yang berasal dari bumi. Jadi aku tahu tanda-tanda orang yang baru tiba di sini." Jack tersenyum sedikit, meskipun wajahnya masih serius. "Hanya tiga orang yang datang ke dunia ini: aku, kau, dan dia."

"Mengapa kita kesini?"

"Kita harus melindungi elf dulu. Populasinya dulunya banyak, sekitar 5.000 orang, tapi setiap bulan mereka di bantai dan di perkosa oleh perajurit kerajaan. Sekarang hanya tersisa 1.000 elf saja."

"Sungguh di luar akal sehat..."

"Haaa, begitu lah. Aku pergi dulu. Satu lagi—bersiaplah. Dalam seminggu ini, perajurit kerajaan akan datang lagi, jadi kau harus siap."

"Apaaaa? Aku baru sembuh dan harus melawan mereka?" tapi Jack sudah keluar dari ruangan, meninggalkan Akai yang bingung dan terkejut.

 

Besoknya, Akai keluar dari klinik elf dan berjalan ke tengah desa. Elf-elf di sekitarnya masih memandang dia dengan kebencian dan waspada—mata mereka penuh trauma karena pengalaman masa lalu dengan manusia yang jahat. Dia menemui Jack di tempat yang ramai, di mana pria itu sedang bekerja dengan alat-alat besi di sebuah bengkel sederhana.

"Kau buat apa?" tanya Akai, melihat sesuatu yang mirip pistol revolver di tangan Jack.

"Pistol api," jawab Jack sambil terus bekerja, tangannya cepat memutar sekrup. "Di dunia ini susah untuk menemukan projectile, propellant, primer, atau case—jadi aku bikin yang pelurunya sedikit. Hanya 9 peluru, tapi cukup untuk memundurkan perajurit kerajaan nanti." akai melihat jack. "Kau bisa bikin kerambit? Bisa, tapi aku kurang materialnya."

"Bagaimana jika aku mencarinya?"

"Bisa, kau tanya saja kepada elf bernama Dori. Dia akan membantu mu mendapatkan material yang dibutuhkan."

"Dimana Dori?"

"Cari lah sendiri."

Akai mulai mencari, menanyakan setiap elf yang dia temui. Tapi karena trauma, hampir semua elf menolak menjawab, bahkan beberapa yang berjalan cepat menjauh. Akhirnya, dia bertemu pak tua elf yang duduk di depan rumah kecil. "Kakek, apakah kau mengetahui Dori?"

"Dori? Yahh, mungkin dia berada di rumahnya. Cari aja di sana—rumah paling ujung dan di balik semak semak."

"Oke, aku pergi dulu, kakek."

Sesampainya di tempat yang dimaksud, Akai melihat rumah yang sudah tua dan tidak layak di huni, dikelilingi semak tebal. Dia melihat seorang anak perempuan dengan telinga runcing dan rambut coklat muda yang sedang memakan apel di dalam rumah nya. " dori, Dori!"

Dori pun keluar dengan muka cuek, mata memandang Akai dengan tidak senang. "Apa kau? Mengapa kau disini?"

Akai tersenyum ramah, meskipun di benaknya berpikir: Ini anak, jika dia adik ku atau saudara, mungkin aku akan memukuli nya. "Boleh kah kau membantu ku mencari material besi untuk ku?"

"Untuk apa aku membantu manusia?"

"Anak ini mengapa sikapnya seperti emak emak yang memarahi anaknya... Hehehe, jika kau bantu aku akan membayar jasa mu kok."

"Tidak."

"Aaaaaa, anak apa nii? Sikapnya sungguh bajingannn... Bagaimana jika aku akan membuat kan mu makanan yang enak?"

"Makanan? Bagaimana jika makanan sama dengan bayaran untuk ku?"

"Apaaaaaaa? Anak siapa ini kurang ajar banget! Kau tunggu aku akan memukuli mu bajingannn!" pikiran itu bergejolak di benak Akai, tapi dia menyembunyikannya. "Baiklah, aku akan membayar mu dan memberikan bayaran."

Mendengar itu, Dori akhirnya setuju. Mereka pergi ke goa yang tidak jauh dari desa elf untuk mencari besi. Karena besi susah di dapat, mereka mencari selama 7 jam dan hanya menemukan 5 bongkahan besi. "Hahaha, capeknya aku! 7 jam cuma bisa menemukan 5 bongkahan besi ini!" ucap Dori dengan kesal.

"Bagus lah, kita dapat besi dari pada gak dapat sama sekali," jawab Akai dengan tenang.

Tengah jalan pulang, Akai melihat daun kentang yang tumbuh liar. Dia pun mencabut beberapa. "Wahh, bisa makan nii!"

Mendengar itu, Dori kaget. "Makan? Kau makan itu? Jiii, apa kau tidak jijik? Itu sudah di tanah, dan kata kepala desa cuma buah yang di atas pohon yang bisa makan—yang di bawah itu racun!"

Mendengar itu, Akai tertawa terbahak-bahak. "Kau masih kecil untuk memahami yang mana tidak boleh dan yang mana boleh."

" Kau bilang aku kecil? Aku sudah besar lah!"

"Iya iya, besar... Hahahahah,

umur ku saja sudah 68 tahun."

Akai masih tertawa, tapi tiba-tiba terdiam seketika. "Haaa? Kau bilang umur mu berapa tahun?!"

"Umur ku 68 tahun."

"Apa? Tidak mungkin! Anak sekecil kau umur begitu tua?"

"Kita para elf memang umur lebih lama dari manusia. Kita umur kita 2.000 tahun baru tua!"

Mendengar itu, Akai tidak berfikir lagi dan berjalan pulang sambil memikirkan keajaiban umur elf. Sesampainya di bengkel Jack, Akai pun memberi besi ke Jack dan bertanya: "Dimana dapur? Aku ingin memasak kentang."

"Kau tanya saja ke mereka—aku tidak punya waktu untuk hal itu."

Akai menanyakan dapur para elf kepada Dori. "Dapur apa itu yahh? Untuk masak makanan lah." Dori tertawa melihat wajah Akai. "Kita tidak pernah masak makanan—kita cuma makan buah buah!" Akai tidak bisa berkata apa-apa, jadi dia pun menanam kentang di belakang desa elf sendirian.

4 hari kemudian, seorang elf pengintaian berlari cepat ke tengah desa, wajahnya penuh ketakutan. Dia berteriak dengan suara yang kencang: "PERAJURIT KERAJAAN DATANG!"

More Chapters