Cherreads

Chapter 4 - Bab 4

BAB 4: Februari dan Awal yang Asing

Suasana ruang tamu rumahku pagi itu masih terasa tegang. Setelah rahasia tentang tamparan Pak Arnos terbongkar, rumah yang biasanya penuh tawa kini terasa seperti medan perang yang dingin. Bapak benar-benar membuktikan ucapannya. Beliau tidak terima anaknya diperlakukan kasar. Dengan jaket kulit hitamnya, Bapak berdiri di depan pintu, siap berangkat ke SDN 11 bukan untuk mengantar, tapi untuk meminta keadilan.

"Pokoknya, saya tidak mau tahu," suara Bapak menggelegar saat berbicara di telepon dengan salah satu kerabat yang mengerti hukum. "Seorang guru itu mendidik, bukan main tangan. Anak saya sampai trauma tidak mau sekolah! Saya akan tuntut penjelasan dari kepala sekolah dan guru itu hari ini juga!"

Ibu yang sedang menyiapkan berkas-berkas kepindahanku hanya bisa menghela napas panjang. Wajahnya menunjukkan kekecewaan yang mendalam kepada rekan sejawatnya. Sebagai guru kelas 4, Ibu tahu betul bagaimana seharusnya memperlakukan murid. Melihat aku yang hanya duduk diam di sudut sofa sambil memeluk lutut, hati Ibu pasti hancur.

"Arya, kemari Nak," panggil Ibu lembut. Beliau membentangkan tiga formulir sekolah di meja. "Bapak dan Ibu sudah mencari beberapa pilihan sekolah untukmu. Kita harus pilih sekarang supaya Februari nanti kamu sudah bisa mulai di tempat baru."

Aku mendekat dengan langkah ragu. Ada tiga pilihan: SDN 5, SDN 13, dan SDN 12.

"Aku... aku pengen ke SDN 5, Bu," kataku pelan. Aku pernah mendengar SDN 5 itu bangunannya bagus.

Bapak yang baru selesai menelepon langsung menyahut, "SDN 5 itu kejauhan dari rumah kita, Arya. Lagipula, Bapak dengar dari teman-teman kantor, anak-anak di sana katanya nakal-nakal. Suka tawuran antar kelas. Bapak tidak mau kamu keluar dari mulut harimau malah masuk ke lubang buaya."

Aku menunduk. Pupus sudah keinginanku ke sana. "Kalau SDN 13?"

Ibu menggeleng cepat. "Jangan di sana. Di SDN 13 ada guru yang... yah, Ibu tahu sifatnya mirip dengan Pak Arnos. Ibu tidak mau mengambil risiko kamu bertemu orang yang sama lagi."

Akhirnya, pandangan kami tertuju pada lembar terakhir. SDN 12. Jaraknya tidak terlalu jauh, lingkungannya relatif tenang, dan Ibu mengenal beberapa guru di sana yang katanya jauh lebih sabar. "Kita ke SDN 12 saja ya? Ibu dengar wali kelas 5 di sana namanya Ibu Zahra. Beliau orangnya sangat baik dan telaten," bujuk Ibu.

Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Di titik ini, aku tidak peduli di mana aku sekolah, asalkan tidak ada lagi bayangan Pak Arnos.

Februari akhirnya tiba. Hari pertamaku di SDN 12 dimulai dengan perasaan was-was yang luar biasa. Aku mengenakan seragam yang rapi, tapi keceriaan yang dulu menjadi ciri khasku telah lenyap. Aku menjadi sosok yang sangat pendiam. Saat memasuki gerbang sekolah baru, aku merasa semua mata tertuju padaku—si murid pindahan di tengah semester.

Ibu Zahra menyambutku di depan kelas. Beliau benar-benar seperti yang diceritakan Ibu; wajahnya teduh dan suaranya sangat lembut.

"Ayo masuk, Arya. Jangan takut. Di sini teman-temanmu baik semua," ajak Ibu Zahra sambil menuntun pundakku.

Begitu masuk ke dalam kelas 5 SDN 12, jantungku berdegup kencang. Aku berharap bisa duduk di pojok mana saja asalkan tidak terlihat. Namun, harapanku hancur seketika saat Ibu Zahra menunjuk sebuah kursi kosong.

"Kamu duduk di sini ya, Arya. Di barisan paling depan, tepat di depan meja Ibu," ucapnya sambil tersenyum.

Aku terpaku. Paling depan. Ini adalah posisi yang paling aku hindari. Di barisan depan, aku merasa telanjang. Guru bisa melihat setiap gerak-gerikku, setiap tetes keringatku, dan setiap ketidaktahuanku. Tapi aku tidak punya kekuatan untuk membantah. Dengan kepala menunduk, aku berjalan menuju kursi itu.

Saat aku duduk, aku merasakan ada seseorang di belakang sampingku. Aku menoleh sedikit dan mataku bertemu dengan seorang gadis. Namanya Nayara Amora. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan, bukan tatapan mengejek, tapi sesuatu yang terasa... berbeda. Namun, aku segera membuang muka. Aku belum siap berinteraksi dengan siapa pun.

"Anak-anak, kita kedatangan teman baru. Silakan perkenalkan dirimu, Nak," perintah Ibu Zahra lembut.

Aku berdiri dengan kaki gemetar. "Nama saya... Arya Rezky Pratama. Saya pindahan dari SDN 11."

Suaraku sangat kecil. Tiba-tiba, dari barisan belakang, terdengar suara bisikan yang cukup keras.

"Wih, anak pindahan? Pasti bermasalah nih di sekolah lamanya," celetuk seorang anak laki-laki. Aku menoleh dan melihat tiga anak yang duduk bergerombol. Itulah Fahmi, Arlon, dan Elion.

Fahmi sebenarnya adalah teman masa kecilku, dulu kami lumayan sering main bareng, tapi entah kenapa di sini dia terlihat sangat berbeda. Dia tampak seperti pemimpin geng kecil di kelas ini. Sementara Arlon dan Elion hanya mengikuti di belakangnya dengan cengiran yang tidak enak dipandang.

Beberapa minggu berlalu di SDN 12. Aku mencoba menjadi "bayangan". Aku datang, belajar, dan pulang tanpa banyak bicara. Namun, ujian pertamaku datang saat jam pelajaran PJOK bersama Ibu Vero.

Kami semua berada di lapangan untuk praktik fisik. "Hari ini kita praktik push-up!" teriak Bu Vero dengan peluit di lehernya. "Satu per satu maju ke depan!"

Satu per satu teman-temanku maju. Ada yang bisa dengan mudah, ada yang kesulitan. Sampai tiba giliranku. Aku maju dengan penuh rasa malu. Sejujurnya, selama di SDN 11, aku hampir tidak pernah diajarkan teknik push-up yang benar. Aku hanya tahu gerakannya secara sekilas.

Begitu aku turun ke posisi bawah dan mencoba mengangkat tubuhku, tanganku gemetar hebat. Dadaku tidak terangkat. Aku mencoba lagi, tapi tubuhku malah terjatuh ke tanah.

"Hahaha! Lihat tuh si anak baru! Masa push-up saja tidak tahu caranya!" tawa Fahmi meledak di pinggir lapangan.

"Kayak kura-kura kebalik!" timpal Arlon sambil menunjuk-nunjuk ke arahku.

Elion ikut tertawa terpingkal-pingkal, membuat suasana lapangan riuh rendah oleh ejekan.

Satu kelas menertawakanku. Rasa malu yang dulu aku rasakan di depan Pak Arnos kini kembali menghantamku, bahkan lebih menyakitkan karena kini pelakunya adalah teman-temanku sendiri. Aku menunduk dalam, merasakan debu lapangan menempel di wajahku.

Namun, di tengah tawa yang memekakkan telinga itu, aku mendengar suara lantang dari barisan perempuan. "Woi! Diam kalian! Memangnya kalian lahir-lahir langsung bisa push-up?!"

Itu suara Nayara Amora. Dia berdiri sambil berkacak pinggang, menatap tajam ke arah Fahmi dkk. "Dia kan baru belajar, jangan diketawain terus!"

Kelas mendadak sedikit lebih tenang, meski Fahmi masih sedikit bergumam. Aku berdiri dengan sisa-sisa harga diri yang hancur, menepuk-nepuk debu di bajuku. Aku melirik ke arah Nayara, tapi dia sudah kembali sibuk dengan urusannya sendiri.

Hari itu, aku sadar. Meskipun guru-guru di sini baik—Ibu Zahra yang lembut, Pak Kyno yang bijak di kelas 6 nanti, atau Pak Xiao guru agama yang tenang—tapi tantangan di SDN 12 tidak lebih mudah. Ada Fahmi yang dulu temanku kini jadi pembully, dan ada Nayara yang duduk di belakang sampingku, yang entah kenapa mulai membuat hatiku yang beku sedikit merasa... terlindungi.

Aku pulang dengan perasaan campur aduk. Aku teringat guru-guruku yang lain; Ibu Arum yang baik di kelas 1, Pak Hiro di kelas 2, Pak Kazumi di kelas 3, dan tentu saja Ibu Kanaya, ibuku sendiri. Mereka semua mengajarkanku untuk kuat. Tapi di SDN 12 ini, aku harus belajar untuk bertahan di barisan paling depan, di bawah tatapan semua orang.

More Chapters