Tahun 740 Kalender Kekaisaran
Pada masa itu, dunia berada dalam keadaan damai.
Berbagai ras hidup berdampingan, saling menopang satu sama lain tanpa konflik yang tampak di permukaan. Tidak ada aroma peperangan, tidak ada teriakan kebencian—hanya kehidupan yang berjalan selaras.
Manusia, elf, dwarf, demi-human, dan banyak ras lainnya hidup dalam harmoni. Mereka bekerja bahu-membahu demi kesejahteraan ras masing-masing, namun tetap saling mendukung satu sama lain.
Dunia tampak begitu indah, belum ternoda oleh darah dan pertumpahan nyawa. Manusia sibuk mengembangkan teknologi dan sains. Elf tenggelam dalam urusan alam dan keseimbangan dunia. Dwarf mengabdikan diri pada seni tempa dan penciptaan senjata magis. Sementara demi-human menjaga material langka serta tradisi leluhur mereka.
Perdagangan menjadi jembatan yang mempererat hubungan antarras. Ramuan dan tumbuhan obat dari elf, senjata magis dari dwarf, serta material langka dari demi-human mengalir ke seluruh penjuru dunia. Setiap ras memperoleh manfaat, tanpa rasa iri atau dengki.
Tak peduli kasta atas atau bawah, dunia dipenuhi tawa dan kegembiraan. Seolah mereka hidup di surga yang tak tersentuh oleh ambisi dan kebencian.
Entah mengapa dunia ini begitu berbeda dari dunia mana pun yang pernah tercatat. Ambisi nyaris tak pernah tumbuh. Yang terpenting bagi setiap ras hanyalah satu: hidup dengan damai dan bahagia.
Namun di balik kedamaian itu, sistem kekuatan dunia ini menyimpan keanehan tersendiri.
Di seluruh dunia, tak lebih dari lima persen makhluk hidup yang memiliki kekuatan luar biasa. Mereka yang dianugerahi kekuatan tersebut bagaikan bencana berjalan—satu individu mampu menandingi pasukan kecil.
Akan tetapi, kekuatan itu terikat oleh sebuah hukum mutlak.
Mereka dilarang membunuh makhluk hidup.
Siapa pun yang melanggar aturan tersebut akan menghadapi konsekuensi yang mengerikan. Tubuh pelanggar akan membatu untuk selamanya, dan yang lebih kejam lagi—seluruh rasnya akan ditimpa kutukan yang tak terbayangkan.
Aturan itu telah menjaga keseimbangan dunia selama ratusan tahun.
Namun suatu hari, seseorang muncul dengan niat untuk melanggar hukum tersebut.
Dan sejak saat itu, roda dunia mulai berputar ke arah yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Di sebuah benua kecil yang terpisah dari pusat peradaban, hiduplah sebuah ras bertanduk—bertubuh kekar, berkulit sawo matang, berekor, dengan tanduk menyerupai banteng.
Di sana, di sebuah desa sederhana, berdiri sebuah rumah kecil.
Di dalamnya, seorang pria berusia sekitar dua puluh lima tahun tengah tenggelam dalam penelitian.
Ruangan itu berantakan. Kertas dan buku berserakan di mana-mana, dipenuhi coretan rumus dan simbol yang rumit. Pria itu duduk di depan meja kayu tua, menulis tanpa henti—tatapannya tajam, seolah sedang merangkai sesuatu yang seharusnya tidak pernah ada.
Dan tanpa ia sadari…
Langkah kecil yang ia ambil malam itu akan menjadi awal dari runtuhnya kedamaian dunia.
Tatapan pria itu dipenuhi oleh ambisi dan kegilaan—sesuatu yang mustahil untuk digambarkan dengan kata-kata biasa.
"Akhirnya! Tinggal sedikit lagi penelitianku selesai!" teriaknya dengan tawa nyaris histeris, tangannya menghantam meja kayu hingga bergetar.
"Aku akan mematahkan hukum dunia ini… apa pun caranya!" suaranya tegas, penuh keyakinan yang menyimpang.
Tak seorang pun mengetahui alasan pasti di balik keinginannya untuk menghancurkan tatanan dunia yang damai. Namun satu hal tak terbantahkan—dialah satu-satunya makhluk hidup yang benar-benar memiliki ambisi sebesar itu.
Waktu pun berlalu.
Puluhan tahun mengalir bagaikan sekejap mata.
Pria yang dulu masih muda kini telah menua. Rambutnya memutih, janggutnya memanjang, kulitnya mengeriput dimakan usia. Namun api dalam matanya belum juga padam. Tubuhnya rapuh, tetapi tekadnya tetap membara, ditopang oleh kegilaan yang menolak padam.
Desa tempat ia tinggal kini telah sunyi.
Tak ada satu pun makhluk hidup yang tersisa. Rumah-rumah runtuh, jalanan dipenuhi reruntuhan, dan keheningan menyelimuti segalanya. Hanya satu bangunan yang masih berdiri—rumah kecil tempat ia menghabiskan hidupnya.
Di dalamnya, kekacauan mencapai puncaknya.
Kertas-kertas menumpuk di mana-mana—lantai, dinding, meja, bahkan langit-langit dipenuhi coretan simbol dan rumus yang tak terhitung jumlahnya. Jumlahnya jauh melampaui apa yang pernah ada sebelumnya.
"Uhuk… akhirnya… tesisku selesai juga," gumamnya lemah di sela batuk panjang. "Aku hanya perlu merangkainya… dan menjadikannya sebuah buku."
Dengan sisa tenaga yang ia miliki, pria tua itu mulai menyusun seluruh hasil penelitiannya. Hari demi hari berlalu. Proses itu memakan waktu hampir satu minggu penuh.
Ketika akhirnya selesai, sebuah buku tebal terbentuk—sampulnya sederhana, bahannya kasar, namun isinya… melampaui batas dunia.
Begitu buku itu tersusun sempurna, getaran halus menyebar dari dalamnya. Kekuatan misterius mengalir tanpa suara, menimbulkan riak pada hukum dunia—riak yang tak terlihat, namun nyata.
Pria tua itu tersenyum.
Senyuman yang sarat kepuasan, kegilaan, dan keputusasaan.
"Aku sudah terlalu muak dengan dunia sialan ini…" katanya lirih sambil bersandar di kursi tua yang telah menemaninya selama puluhan tahun. "Makhluk hidup tak lebih dari boneka, digerakkan oleh skenario yang telah ditentukan."
Ia menatap buku di atas meja dengan mata redup.
"Akhirnya… aku menyelesaikan tesisku. Sebuah kemungkinan untuk membangkang hukum dunia itu sendiri. Entah berhasil atau tidak…" napasnya terengah, "semoga suatu hari… ada seseorang yang mewarisi ambisiku."
Hari demi hari, tubuhnya semakin melemah. Cahaya kehidupan perlahan memudar dari matanya.
Buku itu tetap berada di sampingnya, diam namun penuh kekuatan—seolah menunggu pemilik berikutnya.
Pria tua itu akhirnya bersandar sepenuhnya di kursinya, menatap langit-langit rumah yang bobrok dan kumuh. Bibirnya sedikit terangkat, entah senyum atau penyesalan.
Dan perlahan… matanya tertutup.
Keheningan pun menyelimuti ruangan itu.
Namun di dunia yang damai tersebut, tanpa seorang pun menyadarinya…
Sebuah benih kehancuran telah ditanam.
