Ratusan tahun telah berlalu bagaikan sekejap mata.
Kini dunia telah memasuki tahun 1020.
Namun anehnya, hampir tak ada perubahan yang berarti. Atau mungkin perubahan itu terjadi begitu lambat—terlalu kecil untuk disadari oleh mata telanjang. Dunia tetap damai seperti dahulu, tanpa tanda-tanda gejolak besar.
Segalanya terlihat… terlalu tenang.
Di sebuah benua berukuran sedang berdirilah Kerajaan Xarva, sebuah kerajaan milik ras demi-human bertanduk. Kerajaan ini cukup makmur dan berkembang pesat, baik dari segi ekonomi maupun teknologi—bahkan hampir menyamai bangsa manusia.
Dari gaya busana, struktur sosial, hingga tata kota, ras ini tampak seperti kehilangan ciri budaya khas mereka sendiri, seolah telah melebur dengan dunia luar.
Beberapa jarak dari pusat kerajaan, terdapat sebuah kota kecil.
Kota itu miskin dan kuno, bangunan-bangunannya tua, jalanan sempit, dan kehidupan berjalan lambat. Namun di antara keterbatasan itu, ada satu tempat yang cukup terkenal—sebuah kedai roti kecil dengan rasa yang disukai banyak orang.
"Hey, mana pesananku?" seru seorang pelanggan dari kursinya.
"Mohon tunggu sebentar, Tuan," jawab seorang pelayan—seorang anak lelaki berusia sekitar dua belas tahun.
Dengan langkah kecil namun cekatan, ia melayani pelanggan satu per satu.
"Ibu, pesanan di meja sebelah sana sudah menunggu dari tadi," katanya sambil menghampiri seorang wanita paruh baya di balik meja dapur.
"Baik, baik… Ibu segera buatkan," jawab wanita itu sambil tersenyum lelah.
"Emm… oke, Bu!" sahut sang anak dengan suara ceria.
Sore hari pun datang tanpa terasa.
Waktu tutup kedai akhirnya tiba.
Ibu dan anak itu mulai membersihkan tempat mereka, kelelahan jelas terpancar di wajah keduanya. Hari ini kedai lebih ramai dari biasanya—jauh lebih ramai dari hari sebelumnya.
Setelah semuanya beres, mereka pun pulang ke rumah kecil yang hanya berjarak beberapa blok dari kedai.
Sesampainya di rumah, sang anak segera mandi, lalu makan malam bersama ibunya. Tak lama setelah itu, ia masuk ke kamarnya.
Tubuhnya terasa berat.
Ia memanjat ke atas kasur, menarik selimut, dan perlahan memejamkan mata.
Namun di ambang tidur, bisikan aneh mulai terdengar.
Samar… namun mengganggu.
Anak itu mengernyit, berusaha mengabaikannya. Mungkin aku terlalu lelah, pikirnya.
Tidur akhirnya menjemput—namun bukan tidur yang tenang.
Ia bermimpi.
Mimpi yang terasa begitu nyata.
Kesadarannya seolah terlepas dari tubuhnya, mengembara melintasi ruang dan waktu. Dalam mimpi itu, ia melihat sebuah benua kecil, sebuah rumah yang sangat usang, dan di dalamnya—sebuah buku tergeletak di atas meja tua.
Ia menatap buku itu.
Hanya beberapa detik.
Namun tiba-tiba—
Denyut!
Sesuatu menghantam jiwa dan raganya dengan keras, rasa sakit yang begitu nyata seolah menusuk langsung ke dalam eksistensinya.
"—!!"
Anak itu tersentak bangun.
Tubuhnya basah oleh keringat dingin, napasnya tersengal, dan jantungnya berdebar kencang seakan ingin melompat keluar dari dadanya. Rasa nyeri samar masih tertinggal, membuat seluruh tubuhnya merinding.
"Apa-apaan itu…?" gumamnya dengan suara bergetar, dipenuhi ketakutan yang belum sepenuhnya ia pahami.
Dan begitulah ingatan itu terhenti.
"Ughh… ingatan apa ini? Dan siapa aku?" gumamnya lemah, suaranya terdengar seperti suara seorang anak kecil.
Dan memang kenyataannya demikian.
Seorang anak kecil tergeletak di tepi sungai di tengah hutan, tubuhnya dipenuhi luka. Di jidatnya terlihat bekas tanduk yang telah dipotong, menyisakan jejak yang mengerikan. Ia mengenakan jubah usang yang sangat lusuh, tampak seperti terbuat dari karung.
Anak itu menatap langit sambil memegangi kepalanya, menahan rasa nyeri akibat ingatan asing yang tiba-tiba mengalir ke dalam pikirannya.
"Di mana aku…?" gumamnya bingung tanpa menggerakkan tubuhnya.
Namun saat ia mencoba menggerakkan badannya karena rasa penasaran, rasa sakit yang luar biasa langsung menyerang.
"Arghhh!!"
Ia berteriak kesakitan, tubuhnya bergetar dan menggeliat hebat. Rasa sakit itu begitu dahsyat, bahkan orang dewasa pun mungkin akan langsung pingsan mengalaminya.
"Kenapa tubuhku… begitu sakit…?"
Kalimat itu terucap setelah ia menahan penderitaan tersebut selama kurang lebih tiga puluh menit tanpa kehilangan kesadaran.
Kali ini ia tidak bergerak gegabah. Ia tetap diam, karena ia tidak mengetahui apa pun tentang keadaannya.
Setelah terbangun dari mimpi aneh itu, ia tidak memiliki ingatan apa pun tentang dirinya sendiri maupun tentang situasi yang sedang ia hadapi.
Ia juga tidak tahu ingatan siapa yang baru saja muncul. Yang satu adalah ingatan seorang lelaki tua yang terobsesi pada penelitian, dan yang satu lagi adalah ingatan seorang bocah dari kedai roti—namun keduanya terpotong dan tidak lengkap.
"Sial… aku tidak mengingat siapa aku sebenarnya. Ingatan siapa yang muncul di kepalaku ini? Tidak mungkin itu ingatan bocah ini… atau mungkin itu ingatanku sendiri? …Ughh, sialan."
Wajahnya tampak pusing dan bingung.
Ia pun melamun tanpa bergerak selama beberapa jam, hingga akhirnya sesuatu yang aneh terjadi.
Sebuah layar panel tiba-tiba muncul di hadapannya, melayang di udara, menampilkan sebuah pesan.
[Sinkronisasi dengan tubuh ini sedang dimuat]
[Progres sinkronisasi berjalan 15 persen. Harap tunggu hingga proses sinkronisasi selesai]
"Hah… apalagi ini?" ucapnya dengan wajah tersentak kaget dan kebingungan.
Bocah itu terus menatap layar tersebut tanpa berkata apa pun, hingga waktu berlalu dan malam pun akhirnya turun.
