Hari pertama Boy di kelas baru seharusnya menjadi awal yang segar, namun semua berubah menjadi hari yang jauh lebih berat dari yang ia bayangkan. Masalah dengan Rendy tadi pagi hanyalah pembuka kecil dari badai besar yang sedang menunggu.
Bel masuk berbunyi, dan seluruh siswa mulai masuk ke kelas. Bangku-bangku tampak rapi, papan tulis masih putih bersih, dan cahaya matahari masuk dari jendela besar yang menghadap ke lapangan. Boy melangkah ke dalam kelas dengan malas, tangannya masih memegang tas lusuh yang hampir jebol.
Di dalam kelas, beberapa anak langsung berhenti berbicara begitu melihatnya. Sebagian memalingkan wajah, sebagian lagi langsung berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya.
"Itu dia… anak yang mukul Rendy."
"Gila berani banget ya."
"Nekat. Rendy itu orang Perguruan Garuda Hitam, lho."
Boy pura-pura tidak mendengar. Ia meletakkan tasnya di salah satu bangku paling belakang, lalu duduk sambil menyandarkan kepala di jendela.
"Boy…" suara kecil muncul dari samping.
Ternyata Rani duduk tak jauh darinya. Ia menatap Boy dengan wajah khawatir.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Rani.
"Biasa aja." Boy menjawab singkat.
"Tadi… kamu mukul Rendy… dia itu—"
"Aku tahu." Boy memotong. "Dia bakal balas dendam. Biarin aja."
Rani menggigit bibir, tidak berani berkata lagi. Namun dari tatapannya, Boy bisa melihat betapa gadis itu benar-benar takut akan apa yang akan terjadi.
Tak lama kemudian, Sita masuk ke kelas sambil menggendong tas sportnya. Dengan langkah cepat, ia duduk di kursi di depan Boy.
"Kamu hebat juga tadi," kata Sita sambil memutar bangkunya menghadap Boy.
Boy hanya mengangkat bahu. "Dia dorong kamu."
"Ya, tapi kamu nggak perlu mukul dia sampai begitu. Tahu sendiri kan dia siapa?"
"Aku nggak suka lihat anak cowok kasar sama cewek," ujar Boy datar.
Kalimat itu membuat Sita terdiam, sempat terkejut. Ia tidak menyangka seorang troublemaker seperti Boy bisa bicara begitu.
"Terima kasih," kata Sita pelan.
Boy mengalihkan pandangan keluar jendela. Ia tidak suka dianggap pahlawan.
Namun tak lama kemudian, suasana kelas berubah saat seseorang masuk dengan gaya berjalan angkuh. Seorang anak laki-laki berkacamata hitam, rambut klimis, memakai jaket hitam meski sedang di dalam kelas. Namanya Wira, tangan kanan Rendy dan salah satu anggota junior Perguruan Garuda Hitam yang paling sering membuat onar.
Semua siswa langsung diam. Bahkan Sita mengernyit tidak suka.
Wira berdiri tepat di samping meja Boy dan mengetuknya pelan.
"Boy Satria, kan?"
Boy mendongak. "Kenapa?"
Wira tersenyum sinis. "Bosku nitip pesan. Habis sekolah, jangan pulang dulu. Kita tunggu kamu di lapangan belakang."
Boy tidak menjawab.
Wira mencondongkan badan. "Kalau kamu kabur… kami yang datang ke rumahmu."
Suara itu cukup keras untuk membuat Rani memucat.
Boy mengetuk mejanya pelan. "Gua dateng."
Wira tersenyum puas lalu pergi ke bangkunya.
Sita langsung membalik badan. "Kamu gila?! Mereka itu perguruan bela diri beneran, bukan anak berandal biasa!"
"Aku nggak bakal lari," kata Boy santai.
Rani ingin bicara, tapi tidak berani. Ia hanya menatap Boy dengan wajah sedih.
Namun sebelum percakapan itu lebih jauh, guru masuk. Suasana kelas kembali normal—setidaknya secara permukaan. Tapi di dalam hati setiap anak, rasa tegang belum hilang.
---
Jam pelajaran berlalu dengan lambat, terutama bagi Boy. Setiap menit terasa seperti suara hitungan mundur menuju pertarungan yang tak bisa ia hindari. Ia tidak takut, tetapi ia tahu lawannya bukan orang sembarangan. Rendy bukan hanya kuat, tetapi juga dibeking oleh perguruan kungfu paling menakutkan di sekitar Gunung Awan.
Meski begitu, Boy justru merasa dadanya meradang oleh rasa penasaran.
Seberapa kuat sih mereka itu?
Saat istirahat, Boy keluar kelas menuju kantin. Banyak siswa menjauh ketika ia lewat. Badu, anak gendut berkumis tipis, sempat meliriknya dengan penuh kagum.
"Hei… Boy kan?" tanya Badu sambil membawa dua risoles di tangan.
Boy menoleh. "Kenapa?"
"Aku… cuma mau bilang… tadi kamu keren." Badu tersenyum kikuk.
Boy tidak membalas. Ia tidak terbiasa dipuji.
"Oh iya, aku Badu!" katanya ramah.
"Hmm."
Badu tertawa canggung. "Kamu mau risoles? Aku bawa dua, satu buat kamu."
Boy menggeleng. "Nggak."
"Yakin? Enak loh."
"Nggak mau."
Badu mengangguk, tetapi ia tetap berjalan mengikuti Boy. "Kalau butuh bantuan… bilang ya!"
Boy berhenti dan menatapnya. "Kenapa kamu peduli sama aku?"
Badu menggaruk kepala. "Nggak tahu… kamu terlihat sendirian. Dan… aku tau rasanya dijauhin orang."
Boy tidak menjawab. Namun untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang berbicara dengannya tanpa rasa curiga ataupun takut.
Sebelum obrolan itu berlanjut, Lily—anak perempuan berkuncir satu yang sangat pendiam—muncul dari belakang Badu sambil memegang buku gambar.
"Badu… kamu jangan ganggu dia," kata Lily pelan.
"Aku nggak ganggu! Aku cuma… kenalan!"
Lily menunduk sopan pada Boy. "Aku Lily. Senang kenal kamu."
Boy mengangguk tipis. Ia merasa aneh. Biasanya tidak ada yang ingin berteman dengannya. Tapi hari itu, dua anak yang sama-sama sering dibully justru datang mendekat.
Mungkin ini yang disebut takdir kecil.
---
Waktu berlalu cepat. Jam pelajaran terakhir berbunyi.
Rani menghampiri Boy dengan panik. "Kamu jangan pergi! Mereka banyak, Boy! Mereka bisa melukaimu!"
Sita berdiri di belakangnya. "Gua ikut. Kamu nggak bisa lawan mereka sendirian."
Boy menggeleng. "Ini urusanku."
"Tapi—!"
"Sita, jangan ikut." Boy menatapnya serius. "Kamu bisa kena masalah gara-gara aku."
Sita menggertakkan gigi kesal. "Justru itu! Kamu bantu aku tadi, dan aku nggak mau lihat kamu dihajar begitu aja!"
Rani menatap Boy dengan mata berkaca-kaca. "Please…"
Boy memejamkan mata sebentar lalu berkata pelan, "Kalian pulang. Aku janji nggak apa-apa."
Sita menghela napas panjang. "Kalau kamu mati, aku haunt kamu."
"Gua nggak mati."
---
Lapangan belakang sekolah sudah sepi. Angin bertiup membawa debu ringan. Matahari mulai turun, menyisakan cahaya oranye yang membuat bayangan memanjang.
Di tengah lapangan, lima anak berdiri membentuk lingkaran. Rendy ada di tengah, dengan pipi sedikit bengkak, wajahnya penuh amarah yang mendidih.
Di sampingnya, Wira tersenyum sombong.
Boy melangkah masuk ke lapangan tanpa ragu.
"Gua di sini," katanya.
Rendy maju beberapa langkah. "Kamu anak baru, tapi sudah berani melawan Garuda Hitam?"
"Gua cuma bales dorongan lo."
Rendy mengepalkan tangan. "Sialan. Hari ini gua pastikan lo nggak bisa senyum lagi."
Wira menambahkan, "Ingat, Boy. Ini cuma pemanasan. Kalau kamu terus bikin masalah, para senior kami yang turun tangan."
Boy tidak menjawab. Ia hanya mengangkat tangan dalam posisi bertarung seadanya—posisi yang ia tiru dari film kungfu yang ia lihat di televisi neneknya.
Rendy tersenyum mengejek. "Gaya lo busuk banget."
Pertarungan pun dimulai tanpa aba-aba.
Rendy menyerang duluan. Tinju keras mengarah ke wajah Boy, namun Boy berhasil menunduk. Tendangan menyusul, tapi Boy melompat mundur.
Sayangnya, Boy tidak punya teknik. Ia hanya mengandalkan naluri.
Setelah satu menit menghindar, akhirnya pukulan Rendy mendarat tepat di pipi Boy.
DUG!
Boy jatuh tersungkur. Debu menempel di wajahnya.
"Bangun!" teriak Rendy.
Boy mengusap darah di bibirnya. Ia bangkit perlahan.
Serangan berikutnya lebih keras. Boy mencoba membalas, tetapi setiap pukulannya mudah dihindari Rendy. Boy dipukul, ditendang, dijatuhkan berkali-kali.
Namun Boy tidak menyerah.
Ia terus berdiri.
"Kenapa kamu masih bangun?! Jatuh aja!" teriak Rendy kesal.
Boy mengangkat dagunya, meski tubuhnya gemetar. "Lo pukul nggak bikin gua takut."
Rendy menendang perut Boy. Boy jatuh lagi.
Di kejauhan, Badu dan Lily muncul, bersembunyi di balik tembok sambil menonton dengan ketakutan.
"B-badu… dia berdarah…" bisik Lily.
"Aku tahu… tapi kalau kita bantu, kita mati," kata Badu putus asa.
Namun justru di saat itulah, sesuatu terjadi.
Saat Boy jatuh untuk ke sekian kali, seorang lelaki tua muncul di pinggir lapangan. Tubuhnya kurus, rambut putih panjang, memakai pakaian sederhana. Langkahnya tenang, tatapannya tajam namun penuh belas kasih.
Itu adalah Guru Darma—meski Boy belum tahu siapa dia.
Ia berdiri dan menatap semua anak yang berkumpul. "Cukup," katanya.
Namun Wira menertawakan. "Si tua! Ini urusan kami!"
Darma menatap Boy yang berusaha bangun lagi. Boy tersenyum lemah, berdarah, tapi tekadnya tidak hilang.
Darma hanya menggeleng pelan. "Anak ini… punya nyali harimau."
Rendy mendengus. "Siapapun kamu, jangan ikut campur!"
Tanpa berkata apa-apa, Darma melangkah maju dan—dengan gerakan secepat angin—menghentikan pukulan Rendy sebelum sampai ke Boy. Ia hanya mengangkat dua jari, dan pukulan Rendy berhenti seperti menabrak tembok tebal.
Semua anak melongo.
Darma menatap mereka tajam. "Perguruan Garuda Hitam… selalu memakai kekuatan untuk menindas?"
Wira meludah ke tanah. "Kakek sialan!"
Dalam satu kedipan mata, Darma bergerak. Gerakannya lembut, elegan, seperti air yang mengalir. Ia tidak memukul, hanya menahan, memutar, dan mendorong perlahan. Namun gaya dorongannya membuat anak-anak itu tersungkur satu per satu seperti daun tertiup angin.
"Pulanglah," kata Darma.
Rendy bangkit dengan susah payah. "Siapa lo sebenarnya?!"
Darma menatapnya dengan mata yang tampak menyimpan ribuan cerita. "Orang yang pernah melakukan kesalahan karena membiarkan anak-anak sombong macam kalian tumbuh tanpa didikan yang benar."
Rendy mundur, takut. Wira menariknya pergi.
"Ini belum selesai!" teriak Rendy sebelum kabur.
Setelah semua pergi, Darma menatap Boy yang setengah duduk sambil memegang perut.
"Kamu… kenapa terus bangun walau tahu akan kalah?" tanya Darma.
Boy tersenyum pahit. "Kalau gua jatuh… mereka bakal makin seenaknya."
Darma menunduk, lalu mengulurkan tangan. "Ikut aku. Aku akan mengajarimu caranya bertarung… bukan hanya dengan tubuh, tapi dengan hati."
Boy terdiam. Ia menatap tangan itu lama… lalu menggapainya.
Dan di hari itulah, hidup Boy berubah selamanya.
