Cherreads

Chapter 10 - Bab 8

Setelah melewati masa-masa penuh ujian dan ketidakpastian, kini Aulia, Putri, dan Al mulai menemukan titik terang dalam perjalanan hijrah mereka. Trauma yang dulu membelenggu perlahan mulai terurai oleh doa, dukungan, dan keyakinan yang semakin kuat.

Suatu pagi, Al mengajak keduanya untuk bertemu secara langsung di sebuah taman yang teduh. "Ini bukan hanya soal majlis online, tapi tentang kita sebagai keluarga hijrah yang harus saling menguatkan," katanya.

Putri tersenyum, "Aku merasa lebih tenang hari ini, meski masih ada keraguan. Tapi bersama kalian, aku yakin bisa melewati semuanya."

Aulia menambahkan, "Trauma itu nyata, tapi aku belajar untuk tak membiarkannya menjadi penjara. Aku ingin bebas dan bahagia dalam hijrah ini."

Mereka bertiga menghela napas dalam-dalam, menatap langit biru dengan penuh harap. Ada kelegaan dan semangat baru yang tumbuh dalam hati masing-masing.

Hari itu menjadi awal dari babak baru, di mana mereka berjanji untuk terus saling menjaga, belajar, dan memperkuat ikatan hijrah yang sudah terjalin.

Perjalanan belum selesai, tapi mereka yakin dengan niat tulus dan doa yang tak putus, setiap rintangan bisa dilewati.

Malam itu, Aulia kembali memberanikan diri membuka sesi kajian online—suatu hal yang sempat membuatnya gemetar hanya karena bayangan foto yang tersebar, fitnah yang menyakitkan, dan suara-suara yang mencoba meruntuhkan kepercayaan dirinya.

Namun malam ini berbeda.

Putri duduk di sampingnya, meski hanya lewat layar, mata sahabatnya itu menyala dengan keyakinan.

"Kalau kamu takut, pegang tanganku, walau hanya dalam doa," kata Putri lirih sebelum sesi dimulai.

Al pun tak kalah siaga. Ia memastikan jaringan aman, ID Zoom tidak bocor, dan seluruh sistem terkontrol. "Kita tidak akan membiarkan bayangan masa lalu menggelapkan cahaya majlis ini lagi," ucapnya, mantap.

Sesi berjalan penuh haru. Aulia mengisi dengan tema: *"Ujian adalah Surat Cinta dari Allah."* Suaranya masih sedikit gemetar, tapi kalimatnya menembus hati.

Tiba-tiba, kolom komentar Zoom dibanjiri kata-kata doa dan dukungan.

"Aku pernah trauma juga, dan dengerin ini bikin aku kuat lagi."

"Aulia, kamu gak sendiri. Teruskan langkahmu."

Sementara itu, dari sisi lain layar, seseorang memperhatikan mereka dalam diam. Arfan El Gibran. Kali ini ia tak lagi menulis hinaan, tak lagi menyamar. Ia hanya memperhatikan.

Dan hatinya mulai goyah.

"Mereka tetap berdiri… meski sudah aku goyahkan sedemikian rupa."

Malam itu, majlis mereka terasa lebih hidup. Bukan karena jumlah peserta yang banyak. Tapi karena majlis itu dihadiri oleh hati-hati yang lelah… yang kini kembali menemukan arah.

Dan dari kejauhan, mungkin—hati yang pernah gelap pun mulai rindu pada cahaya.

Beberapa hari setelah kajian itu, Al mengajak Aulia dan Putri bertemu langsung di sebuah tempat sederhana—sebuah mushola kecil yang tenang di pinggir kota. Bukan tempat ramai, tapi cukup untuk mengembalikan ketenangan.

Aulia masih tampak lelah. Tatapannya kosong saat tidak sedang diajak bicara. Tapi ia berusaha hadir. Berusaha pulih.

"Aku bukan kuat," gumam Aulia lirih, "aku hanya gak punya pilihan lain selain terus jalan."

Putri memegang tangannya erat. "Dan kamu gak jalan sendiri, Lia."

Al menatap mereka dalam diam. Lalu berkata dengan suara mantap, "Kalian tahu kenapa kita tetap bertahan? Karena yang kita jaga ini bukan hanya nama baik, bukan hanya komunitas. Tapi cahaya. Cahaya dari Allah, yang kita usahakan untuk terus menerangi orang-orang yang mulai gelap jalannya."

Aulia menunduk, air matanya jatuh.

Sementara itu, teror masih belum berhenti. Tapi kini, mereka tidak lari. Mereka melaporkannya pada pihak yang berwenang, dan mulai mengunci setiap celah sistem majlis mereka.

Majlis lainnya yang sempat terkena fitnah mulai pulih, setelah klarifikasi terbuka dan bukti bahwa Aulia dan Putri tidak pernah mengucapkan kata-kata tak senonoh seperti yang diviralkan.

Satu hal yang mereka sadari—hijrah bukan tentang pencitraan. Tapi tentang memperjuangkan kebaikan, meski diserang dari berbagai arah.

Dan malam itu, sebelum berpisah, Al berkata:

"Kalau hari esok datang dengan luka, biarkan kita tetap berjalan. Karena luka yang kita bawa... mungkin justru cahaya bagi orang lain."

Malam itu, Putri duduk sendiri di sudut kamarnya. Lampu temaram menyala, tapi cahaya di hatinya masih redup. Ia baru saja membuka DM dari akun tak dikenal—lagi-lagi ada kata-kata yang menusuk, menuduh, dan menyakitkan. Mereka terus menyerangnya dan Aulia seolah tak ada lelahnya.

Ponselnya berdering. Al.

"Assalamu'alaikum, Putri. Kamu dan Aulia kuat?"

Putri terdiam beberapa detik sebelum menjawab, "Kami jatuh, Al... Tapi kami gak sendiri."

Al di seberang sana menarik napas. "Yang sedang kita bangun ini bukan sekadar majlis, tapi medan jihad. Dan seperti semua medan, selalu ada ujian, selalu ada luka."

Putri menatap langit-langit kamar. "Aku takut, Al. Takut kalau Aulia gak sanggup, takut kalau kami dilupakan…"

"Putri," suara Al terdengar lembut namun tegas, "Kalau kamu merasa jatuh, maka biarkan aku dan Aulia saling menggenggam denganmu. Karena Allah pun tak pernah benar-benar membiarkanmu jatuh sendiri."

Di tempat berbeda, Aulia tengah menatap layar kosong laptop-nya. Sudah seminggu ia pulang dari rumah sakit, tapi bekas trauma masih menghantuinya. Namun malam itu, ia memberanikan diri untuk membuka grup kajian.

Satu pesan dari salah satu anggota membuatnya terdiam lama: *"Terima kasih, Aulia. Karena kajian kakak, aku kembali berdoa setelah sekian lama lupa caranya."*

Air matanya menetes. Tangan gemetar mengetik balasan:

*"Terima kasih juga sudah bertahan, untukku dan untuk Allah."*

Hari itu tak membawa kelegaan penuh, tapi cukup untuk melangkah lagi. Bersama rasa sakit, bersama rasa takut… mereka tetap berjalan.

Karena mereka tahu, yang mereka perjuangkan… adalah jalan pulang.

Beberapa hari setelah percakapan itu, Al menyusun ide pertemuan daring spesial: "Majelis Penyembuh Luka." Bukan hanya untuk mereka, tapi juga untuk para anggota yang mungkin diam-diam sedang melalui badai serupa.

Aulia, meski belum sepenuhnya pulih, mengangguk. "Aku mau bicara malam itu. Biar mereka tahu… kita masih di sini."

Putri memeluk Aulia erat sebelum live dimulai. "Kita bukan tokoh utama yang sempurna. Kita cuma hamba yang masih belajar setia."

Saat layar menyala, ratusan wajah muncul, menyimak. Tak semua paham luka yang Aulia dan Putri tanggung, tapi malam itu… mereka mendengarkan.

Aulia membuka dengan suara lirih, namun tegas. "Kami pernah takut… bahkan ingin menyerah. Tapi Allah tunjukkan, jika hijrah ini dari hati—maka akan ada tangan-tangan yang menggenggam kita saat goyah."

Putri melanjutkan, "Dan kalian semua, majelis ini… adalah bukti bahwa kita gak sendirian."

Al menutup sesi dengan kalimat yang membuat semua hening:

*"Jika dunia ingin meruntuhkan hijrahmu, maka biarlah cinta karena Allah yang membangunnya kembali."*

Malam itu bukan akhir. Tapi awal yang baru.

Tak ada yang benar-benar sembuh. Tapi mereka tetap melangkah.

Karena iman… meski goyah, selalu tahu jalan pulang.

Beberapa hari setelah majelis virtual yang menyentuh hati itu, ketenangan sempat terasa… tapi hanya sesaat.

Pagi itu, Putri membuka email resmi komunitas. Satu pesan anonim masuk. Tak bernama. Tanpa subjek. Tapi isinya cukup untuk membuat jantungnya berhenti sejenak.

*"Majelis ini tak sebersih yang kalian kira. Aku punya rekaman."*

Rekaman audio itu terlampir. Suara seseorang menyerupai Aulia—menyebut hal yang tidak pantas, disisipkan dalam potongan kajian yang pernah mereka lakukan. Tapi Putri tahu… itu hasil editan.

Ia langsung menelepon Al.

"kak… dia mulai lagi. Mereka punya rekaman palsu sekarang."

Al diam. "Kita sudah perbaiki sistem, tapi berarti ini orang dalam. Atau… seseorang yang punya akses lama."

Beberapa akun anggota tiba-tiba menghilang dari grup. Tidak keluar, tapi *dihapus*. Satu per satu. Tanpa izin admin.

Sementara itu, Aulia yang masih dalam proses pemulihan mendapat DM dari seseorang bernama akun:

*@GemaHijrahAsli*

Isi pesannya:

*"Aku tahu kamu bukan sebaik yang kamu tampilkan. Siap-siap saja, semua akan tahu siapa kamu sebenarnya."*

Tubuh Aulia gemetar saat membacanya. Trauma yang mulai reda kembali menguat. Ia mematikan ponsel, menutup wajah dengan tangan.

Dan di sudut lain, sosok *Arfan El Gibran* tersenyum miring di depan laptopnya, dengan satu folder bertuliskan:

*"Runtuhkan dari Dalam."*

More Chapters