Cherreads

Chapter 11 - Bab 9

Langit malam menurunkan gerimis kecil. Aulia duduk di dekat jendela kamarnya, menyelimuti diri dengan syal hadiah dari Putri. Hatinya masih cemas. Pesan-pesan teror itu makin intens—bukan hanya padanya, tapi kini ke beberapa member lain yang mulai mempertanyakan integritas komunitas.

Al, yang biasanya tenang, kini mulai gerak cepat. Ia mengumpulkan bukti-bukti digital, melacak IP pengirim pesan anonim, dan menemukan pola. Semua akun yang terganggu… pernah bergabung dalam majelis awal saat komunitas baru dirintis.

Dan satu nama muncul.

*"Naufal Rahmat"* — akun lama, yang pernah dihapus karena menyebarkan narasi fitnah. Tapi… ternyata tidak benar-benar hilang. Ia kembali dengan banyak akun samaran.

"Naufal ini bukan orang biasa," ucap Al kepada Putri dalam rapat kecil mereka, "Dia juga pernah jadi admin di majelis lain sebelum dihentikan karena penyalahgunaan informasi jamaah."

Putri mengangguk. "Berarti dia menyimpan dendam… dan berusaha membalas lewat kita."

Sementara itu, Aulia menemukan satu hal yang mengejutkan. Saat membuka folder lamanya, ia menemukan rekaman Zoom yang belum pernah ia unggah—tapi sudah tersebar. Entah bagaimana, ada yang menyusup dan mencurinya.

"Dia bukan sekadar pembenci," kata Aulia pelan, "Dia ingin hancurkan semua yang kita bangun dengan hati."

Lalu notifikasi masuk ke grup admin:

*"Seseorang mengklaim sebagai narasumber kajian kita dan meminta donasi ke rekening pribadi."*

Al menarik napas panjang. "Ini bukan sekadar gangguan… ini sabotase."

Dengan penuh tekad, mereka bertiga sepakat: *majelis ini tak boleh runtuh.*

Mereka mulai menyiapkan strategi:

- Verifikasi ulang semua akun.

- Membuat rekaman klarifikasi.

- Dan diam-diam… melacak keberadaan si pelaku.

Tapi mereka tak tahu... *Arfan El Gibran masih punya kartu terakhir.*

Suasana di balik layar majelis semakin tegang. Meski mereka tetap tenang di depan jamaah, di balik grup admin, percakapan semakin sering diawali dengan:

*"Hati-hati. Ada yang aneh lagi."*

Al menatap laptopnya dengan rahang mengeras. Ia tak lagi banyak bicara—setiap malam kini diisi dengan kode, jejak digital, dan data anonim yang terus bermunculan. Arfan El Gibran tak tampak di permukaan, tapi jejaknya berserakan.

Tiba-tiba…

Grup WhatsApp jamaah offline mendadak ramai.

*"Ini maksudnya apa, admin Aulia bikin konten seperti ini?"*

*"Putri ngomong kasar di podcast? Kok bisa?"*

Video yang diedit dengan suara disamarkan mulai tersebar. Narasi dimanipulasi. Jamaah baru mulai goyah. Beberapa mulai mundur diam-diam. Yang lain bertanya-tanya apakah semua ini hanya 'topeng hijrah'.

Aulia hanya bisa terdiam. Trauma lama mengendap, tapi kali ini ia menolak hancur sendirian. Di dalam kamar, ia menangis. Tapi kali ini sambil mengetik sesuatu:

> *"Bismillah, jika hijrahku dicoba seperti ini, maka biarlah aku jatuh sambil berpegang pada tali-Nya. Yang hancur bukan hatiku, tapi topeng fitnah mereka sendiri."*

Putri, yang biasanya lembut, kini tegas. Ia kirim voice note ke semua member:*"Jangan percaya pada yang belum diverifikasi. Kami akan bersihkan semua fitnah ini. Tapi kami butuh kalian bertahan."*

Sementara itu, Al menerima satu pesan email tanpa nama:

*"Berhenti sekarang atau video ini akan tayang besok."*

(Tersemat link video pribadi Aulia dari masa lalu yang tak pernah ia tunjukkan ke siapa pun.)

Al mengepalkan tangan. Ia tahu ini bukan ancaman biasa. Ini perang mental.

Tengah malam, ia keluar rumah. Menghubungi seseorang yang sudah lama ia hindari:

*"Kau masih bisa bantu saya lacak IP real, kan? Ini bukan buatku. Ini untuk menjaga sebuah majelis tetap suci."*

Perang diam-diam telah dimulai.

Dan tak ada yang tahu… siapa yang pertama akan tumbang.

***

Putri mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. Wajahnya gelisah. Sudah 10 menit sejak Aulia menghilang dari layar, dan pesan terakhirnya hanya berbunyi:

*"Maaf, Put… tiba-tiba ada yang datang. Jangan khawatir."*

Tapi siapa? Di rumah Aulia seharusnya hanya ada ibunya, dan hari ini ibunya sedang keluar kota.

Putri membuka pesan grup kecil mereka. Tidak ada tanda-tanda dari Al juga.

"Kenapa semuanya tiba-tiba sunyi begini?" bisiknya.

***

Di sisi lain, Al sedang mengejar sinyal dari IP misterius yang sempat menghubunginya. Tapi sinyal itu terus berpindah-pindah. Seolah ada seseorang yang tahu setiap langkahnya.

Tiba-tiba laptopnya menyala sendiri. Muncul rekaman… dari webcam Aulia.

Wajah Aulia terlihat ketakutan, seperti sedang menahan tangis.

Kemudian… layar menjadi gelap.

Muncul tulisan:

*"Kalian terlalu jauh mencampuri sesuatu yang seharusnya tidak kalian sentuh. Inilah harga dari 'hijrah' kalian."*

Al menegang. Dadanya sesak. "Apa maksudnya ini?!" desisnya.

***

Putri akhirnya menekan nomor Aulia. Tak aktif.

Ia mendadak teringat, Aulia sempat bilang, kalau dirinya merasa dibuntuti beberapa hari ini.

Putri memutuskan keluar rumah malam itu. Ia tak peduli seberapa bahaya. Yang ia tahu, Aulia mungkin sedang dalam masalah besar.

Saat ia membuka pintu, di depan rumah…

Tergeletak sebuah paket hitam.

Tak bertuliskan pengirim.

Saat dibuka, hanya ada satu benda:

*Liontin yang biasa Aulia pakai… patah, dan berlumuran tinta merah.*

Dan secarik kertas:

*"Satu tumbang. Dua menunggu giliran."*

***

Babak baru telah dimulai.

Dan kali ini, mereka bukan hanya berhadapan dengan ancaman…

Tapi dengan seseorang yang tahu semua kelemahan mereka—luar dan dalam.

Sore itu langit menggantung kelabu. Al berdiri di rooftop gedung tua yang jadi markas pengamanan sibernya. Matanya menatap layar ponsel berulang kali—menunggu kabar dari Putri. Tapi yang muncul justru pesan terenkripsi, tanpa nama:

*"Apa kau masih ingat Surabaya, 2018?"*

Dada Al mencelos. Itu… masa lalu yang ia kira sudah ia kubur.

Ia segera membuka berkas lama di laptopnya. Foto-foto, rekaman lama, dan satu nama yang selama ini ia hindari:

*Arfan El Gibran.*

Bukan sekadar musuh baru… tapi saudara angkatnya dulu. Mereka pernah menjadi duo penjaga siber pesantren saat remaja. Tapi saat Al memilih jalan hijrah dan berdakwah, Arfan memilih jalan sebaliknya—terjun ke dunia gelap.

Al mengira Arfan hilang. Tapi sekarang… dia kembali. Dan menggunakan seluruh pengetahuan tentang Al untuk membungkam mereka.

***

Sementara itu, Putri mendapat panggilan dari nomor asing. Kali ini bukan suara ancaman.

"Putri… aku Damar. Temannya Al dulu di Surabaya. Kalau kau ingin selamatkan Aulia, kau harus dengar aku baik-baik. Arfan nggak kerja sendiri."

Putri tercekat. "Apa maksudmu?"

"Di antara kalian, ada yang 'disusupi'. Seseorang yang terlihat seperti bagian dari perjuangan kalian… tapi dia bekerja untuk Arfan."

"Siapa?" desis Putri.

"Dia dekat. Bahkan mungkin… sudah masuk ke majlis kalian sejak lama."

Seketika, Putri memikirkan ulang semua nama. Siapa yang paling sering tahu jadwal? Siapa yang tahu lokasi Aulia saat mengisi kajian?

Hanya satu nama terlintas.

Dan itu… bukan orang yang ia curigai sebelumnya.

***

Al, dengan napas berat, membuka folder terakhir yang diberi label "Gibran_Truth."

Saat terbuka, muncul sebuah video pendek:

Seseorang mengenakan hoodie hitam berdiri di depan kamera. Wajahnya samar, tapi suara dan caranya bicara…

Al mengenalnya.

*"Kau mungkin sudah lupa siapa aku. Tapi aku tidak pernah lupa bagaimana kau tinggalkan aku, demi majlis yang kau agung-agungkan. Sekarang, lihat bagaimana satu demi satu orang yang kau lindungi… hancur."*

Layar kembali hitam.

Dan di layar terakhir hanya ada satu kalimat:

*"Dan kamu… akan menjadi yang terakhir, Muhammad Al-Hafidz Dirgantara."*

More Chapters