Cherreads

Chapter 8 - Bab 6

Di balik segala ujian dan teror yang menerpa, masing-masing dari kami membawa cerita dan kekuatan yang belum sepenuhnya terungkap.

Al membuka sedikit kisah masa lalunya, "Aku dulu hanyalah seorang yang terombang-ambing, jauh dari ilmu dan keyakinan. Tapi saat bertemu dengan kalian, aku menemukan jalan hijrah yang sebenarnya. Liontin yang aku bawa ini bukan hanya perhiasan, tapi simbol janji untuk istiqomah."

Putri menatapnya penuh harap, "Aku juga punya masa lalu yang kelam, penuh keraguan dan luka. Tapi lewat majlis ini, aku belajar untuk berdamai dengan diri sendiri dan Allah."

Aulia tersenyum pelan, "Dan aku? Liontin yang kupakai diwariskan oleh nenek. Katanya, kekuatan itu hanya akan bangkit saat hati kita benar-benar tulus dan ikhlas."

Kami sadar, majlis ini bukan hanya sekedar pertemuan. Ini adalah wadah dimana luka dan harapan bersatu, di mana kekuatan dan kelemahan saling melengkapi.

Namun, ancaman masih mengintai, dan kami harus lebih kuat—lebih dari sekadar niat baik.

Aku berbisik dalam hati,

*"Masa lalu adalah guru, kekuatan adalah senjata, dan majlis ini adalah rumah kita untuk terus berjuang."*

Setelah berbagi tentang masa lalu masing-masing, suasana majlis berubah jadi lebih hangat. Tapi di balik semua itu, ada satu hal yang selalu membuat kami gelisah: liontin yang dibawa Al dan Aulia ternyata memiliki rahasia yang jauh lebih dalam.

Al membuka sebuah buku tua yang selama ini disimpannya rapat-rapat. "Ini adalah catatan nenek moyangku, berisi petunjuk tentang kekuatan liontin ini. Konon, liontin ini bisa menjadi perisai sekaligus kunci untuk membuka dunia lain—dunia bayangan yang penuh dengan ujian dan godaan."

Putri menatap tajam, "Jadi selama ini bukan hanya kita yang berjuang melawan teror nyata, tapi juga pertempuran di dunia lain?"

Al mengangguk, "Benar. Dan itu sebabnya kita harus lebih kuat, lebih sabar, dan tetap istiqomah. Karena kalau kita kalah, bukan hanya majlis ini yang hancur, tapi jiwa kita akan terombang-ambing tanpa arah."

Aulia menambahkan dengan suara lirih, "Aku mulai merasakan ada kekuatan gelap yang mencoba merasuk lewat majlis kita, lewat setiap ancaman yang datang. Ini lebih dari sekedar fitnah dan teror biasa."

Malam itu, kami berdoa bersama dengan penuh harap, memohon kekuatan dari Allah agar terus diberikan keteguhan hati dan perlindungan dari segala bahaya, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi.

Aku tersadar, bahwa hijrah bukan sekadar langkah fisik. Ia adalah perjalanan jiwa, yang kadang harus melewati gelapnya lorong tanpa cahaya, agar kelak bisa menemukan sinar yang abadi.

Kabar buruk datang tiba-tiba. Aulia, yang selama ini kuat menghadapi segala teror, kini harus dilarikan ke rumah sakit. Trauma yang ia rasakan semakin dalam setelah foto dirinya saat mengisi kajian tersebar di media sosial tanpa izin, disertai dengan video dan suara palsu yang mengatasnamakan dirinya berbicara hal-hal yang tak senonoh.

Putri dan Al terpukul berat. Mereka tak menyangka, ancaman itu bukan sekadar mengganggu lewat pesan atau telepon, tapi sudah menyentuh kehidupan pribadi Aulia sampai membuatnya hampir runtuh.

"Dia... dia sangat terpukul, tak bisa tidur, dan terus menangis," kata Putri dengan suara bergetar ketika kami berusaha menguatkan satu sama lain di ruang tunggu rumah sakit.

Al menggenggam tangan Putri erat, "Kita harus lebih kuat. Aulia butuh kita, bukan hanya doa, tapi juga perlindungan dan dukungan nyata."

Malam itu, kami berkumpul di kamar rumah sakit, membacakan ayat-ayat suci dan doa-doa, berharap agar Allah memberi ketenangan pada hati Aulia. Aku melihat wajahnya yang pucat, tapi matanya penuh harap meski masih dipenuhi ketakutan.

"Hijrah ini memang tidak mudah," ucap Aulia lirih, "Kadang aku bertanya-tanya, apakah semua ini layak…?"

Putri mengusap air mata, "Kita jalani bersama, Aulia. Jangan biarkan mereka menang. Kita kuat karena Allah bersama kita."

Kisah ini bukan hanya tentang perjuangan di dunia nyata, tapi juga pertempuran hati yang kadang harus rela terluka sebelum akhirnya bisa sembuh dan bangkit lebih kuat.

Hari-hari setelah Aulia dirawat di rumah sakit terasa begitu berat bagi kami. Setiap kali kami mengunjungi, wajahnya yang dulu ceria kini tertutup duka dan ketakutan. Trauma yang menghantuinya bukan hanya karena foto yang tersebar, tapi juga karena fitnah yang mencoba merusak nama baiknya di mata jamaah dan orang-orang terdekat.

"Kadang aku merasa seperti terperangkap dalam mimpi buruk," ucap Aulia dengan suara serak. "Aku takut keluar kamar, takut membuka ponsel. Rasanya semua mata menatapku dengan penuh kecurigaan dan hinaan."

Putri menggenggam tangan Aulia erat, "Kita ada di sini, selalu. Jangan pernah merasa sendiri. Mereka yang benar-benar mengenalmu tahu siapa kamu sebenarnya."

Al menambahkan, "Ini ujian terbesar kita. Tapi kita harus ingat, Allah tidak akan memberi ujian di luar kemampuan hamba-Nya. Kita harus kuat, untuk Aulia dan untuk majlis ini."

Meski rasa sakit dan ketakutan mengikat hati kami, namun secercah harapan tetap menyala. Kami mulai merancang langkah untuk membuktikan kebenaran, membersihkan nama baik Aulia, dan menjaga majlis tetap berjalan dengan penuh keberkahan.

Aku menyadari, hijrah ini bukan hanya soal perubahan diri, tapi juga soal menghadapi badai yang datang dari luar dan dalam diri. Dan aku percaya, bersama-sama, kami bisa melewatinya.

Satu minggu berlalu sejak Aulia dirawat di rumah sakit. Hari ini adalah hari yang kami tunggu-tunggu, hari di mana Aulia bisa kembali pulang. Namun, pulangnya Aulia bukan berarti semua luka langsung hilang. Trauma yang menghantuinya masih melekat kuat, seolah bayangan gelap yang tak mudah hilang.

Saat langkahnya melewati pintu rumah, wajahnya tampak lelah dan matanya masih sembab. Setiap suara, setiap getar ponsel, membuatnya terkejut. Putri dan Al tahu betul, perjalanan penyembuhan ini masih panjang.

"Aku ingin kuat, tapi aku juga takut… takut semuanya akan terjadi lagi," suara Aulia pelan, hampir berbisik.

Putri merangkulnya, "Kita semua ada di sini. Aku dan Al akan selalu menjadi tempatmu bersandar. Kita akan hadapi ini bersama, satu langkah demi satu langkah."

Al menatap Aulia dengan penuh keyakinan, "Trauma ini bukan akhir dari perjalanan kita. Ini ujian untuk memperkuat iman dan hati kita. Kita akan buktikan, tidak ada yang bisa menghancurkan niat baik dan hijrah kita."

Malam itu, kami bertiga duduk bersama, menguatkan satu sama lain lewat doa dan cerita. Meski luka masih terasa, namun harapan mulai menyelinap di hati kami. Bahwa setiap ujian adalah jalan menuju kedewasaan, dan bahwa keikhlasan akan menjadi pelindung terbaik.

Hari-hari selepas kepulangan Aulia tak mudah. Walaupun tubuhnya sudah kembali ke rumah, namun hatinya masih terpenjara rasa takut dan trauma. Suara-suara kecil yang biasanya tidak mengganggu kini terasa seperti bisikan-bisikan gelap yang mencoba menyeretnya ke dalam ketakutan.

Setiap kali ponselnya bergetar atau ada pesan masuk, jantung Aulia seakan berhenti sejenak. Ia sering menutup diri, menarik diri dari dunia luar, takut akan datangnya fitnah berikutnya. Aku bisa merasakan betapa berat beban yang dipikulnya.

"Putri, aku merasa lelah… Aku takut jika ini akan terus terjadi. Aku takut orang-orang akan terus menghakimi dan tidak percaya pada kebenaran," ucap Aulia dengan suara bergetar saat kami duduk bersama di ruang tamu.

Putri menggenggam tangannya erat, "Aulia, ingatlah bahwa Allah selalu melihat hatimu. Kita tidak berjalan sendirian. Kita punya Al, punya aku, dan jamaah yang tulus. Kita akan bersama melewati semua ini."

Al menambahkan dengan tegas, "Kita harus kuat, Aulia. Ini ujian yang Allah berikan untuk memperkuat iman kita. Aku yakin, dari semua ini akan lahir kekuatan yang baru."

Kami bertiga berjanji untuk saling mendukung, tak membiarkan trauma menguasai. Bersama, kami mulai menyusun kembali langkah-langkah untuk mengembalikan majlis online kami, memperbaiki nama baik, dan menjaga semangat hijrah.

Aku yakin, walau gelap dan berat, ada cahaya yang selalu menunggu di ujung perjuangan ini. Dan kami akan berusaha keras untuk sampai ke sana, bersama.

More Chapters