Enam bulan telah berlalu sejak Kyuden meninggalkan Rian di bawah asuhan manusia paling menyebalkan yang pernah ada. Bagi Rian, enam bulan ini terasa lebih lama daripada sepuluh tahun hidup di jantung Silvaris Aeterna. Jika di hutan ia adalah predator yang bebas berlari tanpa aturan, di gubuk pedang milik Soran ini, ia merasa seperti seekor burung yang sayapnya dipotong dan kakinya diikat pada pemberat besi. Dunianya yang dulu luas dan hijau kini menyempit menjadi sebuah halaman penuh pedang karatan dan sebuah gubuk yang selalu berbau arak murahan.
Pagi itu, sebelum kabut Silvaris sempat menghilang dari dahan-dahan pohon, Rian sudah berdiri di tengah labirin pedang karatan. Ia bertelanjang dada, memperlihatkan tubuh kecilnya yang mulai terbentuk namun penuh dengan bekas luka memar berwarna kebiruan. Ia sedang melakukan kuda-kuda dasar yang diperintahkan Soran—sebuah posisi statis di mana ia harus merendahkan pinggulnya dan menahan berat tubuhnya selama empat jam tanpa bergerak satu inci pun.
"Kau goyah lagi, Bocah. Kakimu gemetar seperti kaki bayi rusa yang baru lahir di tengah badai," suara Soran terdengar dari arah teras gubuk. Pria itu duduk santai di kursi goyangnya yang berderit, memegang sebuah kipas bambu di satu tangan dan botol arak di tangan lainnya. Ia tampak seperti pengangguran yang tidak berguna, namun bagi Rian, keberadaan Soran di sana terasa seperti gunung yang mengawasi setiap gerak-geriknya.
"Diam... Soran," gerutu Rian. Pelafalan bahasanya sudah jauh lebih lancar dibandingkan saat pertama kali ia tiba, meskipun nada bicaranya tetap datar, kasar, dan tanpa basa-basi. Keringat bercucuran dari keningnya, jatuh ke tanah berdebu, namun ia tidak berani menyekanya.
"Oh, sekarang sudah punya keberanian untuk menyuruh gurumu diam?" Soran tertawa kecil, suara tawanya terdengar meremehkan. Tanpa melihat, Soran menjentikkan sebuah kulit kacang menggunakan jarinya.
Tak!
Hantaman kecil itu menghantam tepat di bawah tempurung lutut Rian. Serangan itu tidak keras, namun mengenai titik syaraf yang membuat keseimbangan Rian runtuh seketika. Rian jatuh tersungkur, wajahnya mencium debu tanah. Ia segera bangkit dengan kemarahan yang meluap. Matanya mulai berkilat biru neon, pupilnya melebar, dan secara otomatis teknik Septem aktif. Di matanya, kursi goyang Soran terbagi menjadi sepuluh bagian, dan ia melihat titik lemah pada kayu penyangganya.
Rian ingin menghancurkannya. Ia ingin menghancurkan segala hal yang menghalangi kebebasannya.
"Aku... bukan patung," desis Rian, giginya bergeletuk menahan geram. "Aku predator. Kyuden tidak pernah... membuatku diam seperti ini. Aku ingin berburu! Aku ingin memotong!"
Soran berhenti mengayunkan kursi goyangnya. Ia menaruh botol araknya di lantai dan menatap Rian dengan tatapan yang tajam, menghilangkan kesan konyolnya dalam sekejap. "Predator, katamu? Kau pikir kau masih predator setelah merengek karena latihan fisik dasar?"
Soran berdiri dan berjalan mendekati Rian. Setiap langkahnya tidak menimbulkan suara, sebuah bukti kendali mana yang sempurna. "Dengar, Rian. Kau memang memiliki insting liar yang tajam, tapi tubuhmu itu saat ini adalah sebuah kegagalan sistem. Kau tahu kenapa anak-anak di luar sana mulai belajar di umur tujuh tahun? Karena di umur itu, jalur mana manusia masih seperti lilin yang hangat—mudah dibentuk, dilebarkan, dan dibersihkan."
Soran mencengkeram bahu Rian, menekannya hingga Rian merasa tulang bahunya hampir remuk. "Tapi kau? Kau baru mulai di umur sepuluh tahun. Selama sepuluh tahun terakhir, kau memaksakan teknik Septem yang luar biasa itu tanpa memiliki pasokan energi yang memadai. Kau menggunakan energi kehidupanmu sendiri untuk menyalakan mata itu.
Akibatnya, jalur manamu membeku dan menyempit karena dipaksa bekerja terlalu keras tanpa nutrisi energi. Jalur manamu sekarang seperti pipa besi tua yang penuh dengan karat dan kerak."
Rian terdiam. Ia merasakan kebenaran dalam kata-kata itu. Setiap kali ia mencoba mengalirkan kehangatan dari Dantian ke lengannya, ia merasa seolah-olah ada pecahan kaca yang merayap di bawah kulitnya. Itulah rasa sakit dari mana yang mencoba menembus jalur yang tersumbat.
"Jika kau terus bertarung hanya dengan insting binatangmu, kau akan mati sebelum umur dua puluh tahun karena tubuhmu hancur dari dalam," lanjut Soran dengan nada dingin. "Kau memulai terlambat. Jika kau ingin mencapai level 'biasa saja'—yang aku sebut 4 Star Core di umur delapan belas nanti—kau harus berhenti menggunakan matamu sebagai tumpuan utama. Kau harus belajar mengalirkan energi untuk melumasi pipa-pipa berkarat itu."
Soran berbalik dan mengambil sebuah karung kecil. "Ikuti aku. Kita akan melihat seberapa hebat 'predator' ini jika aku merampas penglihatannya."
Soran membawa Rian ke sebuah lereng bukit di pinggiran Silvaris yang dipenuhi semak berduri. Di sana, terlihat beberapa makhluk kecil yang bergerak sangat cepat hingga hanya terlihat seperti kilatan bulu cokelat. Itu adalah Razor-Claw Rabbit. Kelinci hutan yang memiliki cakar depan sepanjang sepuluh sentimeter, setajam pisau belati, dan diperkuat dengan mana alami.
"Aturannya sederhana," Soran menyerahkan selembar kain biru tua yang tebal pada Rian. "Tutup matamu dengan ini. Jangan biarkan aku melihat kilatan biru dari teknik Septem-mu. Jika kau menggunakan matamu, aku akan memukulmu. Tugasmu adalah menangkap satu ekor kelinci itu hidup-hidup sebelum matahari tenggelam. Jika gagal, kau tidak akan dapat makan malam, dan kau akan tidur di luar bersama nyamuk hutan."
Rian mendengus sombong. "Kelinci... kecil. Mudah."
Ia mengikat kain itu dengan kencang. Kegelapan total menyelimuti penglihatannya. Rian merasa percaya diri; di hutan, ia sering berburu di malam hari. Ia memiliki indra penciuman yang tajam dan pendengaran yang sudah terlatih. Ia mulai merangkak, mendekati suara desiran semak-semak yang ia yakini sebagai lokasi targetnya.
Sret!
Rian melompat dengan kecepatan tinggi, tangannya mencengkeram ke arah suara itu. Namun, yang ia tangkap hanyalah udara kosong dan segenggam tanah. Sebuah hantaman keras dari kaki belakang kelinci itu mengenai punggungnya, membuat Rian terlempar ke depan dan wajahnya mendarat tepat di semak berduri.
"Aduh!" Rian mengerang saat duri-duri itu merobek kulit pipinya.
"Hahaha! Lihat itu! Sang penguasa hutan dikalahkan oleh seekor kelinci penakut!" tawa Soran meledak, menggema di seluruh lereng bukit. "Kelinci itu tahu kau datang bahkan sebelum kau melompat, Rian! Kau bergerak dengan nafsu membunuh yang begitu besar hingga kau terlihat seperti obor menyala di tengah kegelapan bagi mereka. Kau terlalu berisik! Bukan suaramu, tapi aliran manamu yang liar dan tidak teratur itu yang memberitahu mereka segalanya!"
Rian bangkit dengan amarah yang membara. Ia mencoba lagi. Dan lagi. Setiap kali ia mendekat, kelinci itu selalu selangkah lebih cepat. Tanpa teknik Septem, Rian kehilangan kemampuannya untuk memprediksi masa depan berdasarkan struktur lawan. Ia merasa seperti orang cacat yang tidak berdaya. Ia terjatuh, berguling di tanah, dan bajunya kini sudah hancur tercabik-cabik.
Tiga jam berlalu. Matahari mulai condong ke barat, memberikan warna oranye yang membakar pada langit. Rian duduk bersandar di sebuah pohon, napasnya tersengal-sengal, dan tubuhnya penuh dengan luka goresan cakar yang mulai berdenyut sakit.
"Kenapa... tidak bisa?" bisik Rian pada dirinya sendiri. Ia merasa sangat kecil. Selama ini ia merasa kuat karena matanya, tapi sekarang, tanpa mata itu, ia merasa tidak lebih dari sekadar bocah lemah yang tersesat.
"Karena kau mencoba menggunakan ototmu untuk mengejar mereka," suara Soran terdengar jauh lebih dekat, ia berdiri tepat di samping Rian tanpa terdeteksi. "Otot manusia punya batas, Rian. Tapi Mana tidak. Kau memulai terlambat, jadi kau tidak boleh membuang energi secara sia-sia. Jangan mengejar kelinci itu. Biarkan dunia yang memberitahumu di mana dia berada."
Soran meletakkan tangannya di atas kepala Rian. "Gunakan teknik The Great Breath of Aethel yang kuajarkan. Jangan cari suaranya dengan telinga, tapi cari getarannya dengan Mana-mu. Alirkan mana dari Dantian ke telapak kaki dan tanganmu. Jangan jadikan mana itu senjata, jadikan itu bagian dari kulitmu."
Rian menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba menenangkan detak jantungnya yang liar. Ia menutup matanya lebih rapat di balik kain biru itu, mencoba mengabaikan rasa perih di sekujur tubuhnya. Ia mulai fokus pada denyutan hangat yang sangat kecil di pusat perut bawahnya—benih Star Core yang baru saja ia bentuk beberapa hari lalu.
Ia membayangkan mana itu seperti air yang sangat tenang, perlahan merembes keluar dari Dantiannya, melewati jalur-jalur 'pipa berkarat' yang sempit. Ia tidak memaksanya. Ia hanya membiarkannya mengalir. Pelan-pelan, rasa hangat itu menyebar ke ujung kaki dan tangannya.
Dunia di sekitarnya mulai berubah. Dalam kegelapan itu, Rian tidak lagi 'mendengar' suara, tapi ia 'merasakan' getaran. Ia merasakan arah angin yang bergeser karena pepohonan, ia merasakan kelembapan tanah yang tertekan, dan di sana... sekitar tiga meter di sebelah kirinya, ada sebuah getaran jantung yang sangat halus dan cepat.
Kelinci itu.
Kelinci itu mendekat, merasa bahwa 'benda' besar di depannya ini sudah mati atau tidak lagi berbahaya karena niat membunuhnya telah menghilang.
Rian tidak melompat. Jika ia melompat, ia akan membuat getaran besar di tanah. Sebaliknya, ia hanya menggeser berat tubuhnya dengan dorongan Mana yang sangat halus di tumitnya. Ia bergerak seperti bayangan yang menyatu dengan senja. Saat kelinci itu berada tepat di jangkauannya, tangan Rian bergerak dengan keanggunan yang tidak pernah ia miliki sebelumnya.
Hap!
Tangan Rian mencengkeram bagian belakang leher kelinci itu. Makhluk kecil itu meronta-ronta dengan liar, cakarnya mencoba merobek lengan Rian, namun Rian memegangnya dengan mantap namun lembut, memastikan ia tidak menyakiti makhluk itu atau melepaskannya.
Rian melepaskan kain penutup matanya. Matanya yang berwarna biru gelap, tanpa kilatan teknik Septem, menatap kelinci di tangannya. Ia terengah-engah, namun sebuah senyuman kecil—senyuman manusia pertama yang tulus—muncul di wajahnya. "Dapat..."
Soran berjalan mendekat, menepuk pundak Rian dengan sangat keras hingga Rian hampir tersungkur ke depan. "Tidak buruk, Bocah! Meskipun kau terlihat seperti kain pel yang habis dipakai membersihkan kandang naga, kau akhirnya mengerti konsep sinkronisasi."
Soran mengambil kelinci itu dan melepaskannya kembali ke semak-semak. "Dengar, Rian. Apa yang kau lakukan tadi adalah dasar dari segalanya. Kau memulai di umur sepuluh tahun, itu adalah hambatan besar. Di luar sana, anak-anak seumurmu mungkin sudah bisa membelah batu dengan satu serangan karena mereka punya Star Core yang sudah matang. Tapi mereka tidak punya apa yang kau punya—pengalaman bertahan hidup di neraka."
Soran menatap ke arah matahari yang hampir menghilang di cakrawala. "Di umur delapan belas nanti, kau mungkin hanya akan memiliki 4 Star Core. Orang akan menyebutmu 'lumayan' atau 'biasa saja'. Para jenius di akademi mungkin akan menertawakanmu karena mereka sudah mencapai 6 atau 7 Star Core di usia itu. Tapi mereka salah."
Soran menatap Rian dengan tatapan yang sangat serius. "Star Core hanyalah baterai. Yang menentukan kemenangan adalah bagaimana kau menggunakan energi itu. Dengan matamu dan sirkulasi yang benar, 4 Star Core milikmu akan jauh lebih mematikan daripada 8 Star Core milik orang bodoh yang hanya tahu cara memukul keras. Tapi ingat, untuk mencapai level 4 itu pun, kau harus melewati jalur yang jauh lebih menyakitkan daripada orang lain karena pipa manamu yang tersumbat itu."
Soran merogoh ke dalam jubbahnya dan mengeluarkan sebuah pedang kayu yang tampak sangat tua dan berat. Kayunya berwarna hitam legam, sekeras besi, dan memiliki keseimbangan yang sangat buruk.
"Ini adalah pasangan tidurmu mulai malam ini," kata Soran sambil menyerahkan pedang itu. Rian hampir terjatuh saat menerima pedang itu karena beratnya yang tidak masuk akal. "Kau akan mengayunkan pedang ini sepuluh ribu kali setiap hari. Jika matamu berkilat biru sebelum ayunan ke-sepuluh ribu, aku akan mengulang hitungannya dari nol. Dan setiap kali kau salah posisi, botol arak kosong ini akan mendarat di kepalamu. Kita punya delapan tahun untuk membuat pipa berkarat di tubuhmu itu menjadi jalur energi emas."
Rian menggenggam gagang pedang kayu itu dengan kedua tangannya. Ia merasakan tekstur kayu yang kasar dan beban yang seolah ingin menariknya ke bumi. Namun, saat ia mengalirkan Mana ke tangannya, pedang itu terasa seperti bagian dari tubuhnya sendiri.
"Soran..."
"Apa lagi? Cepat jalan, aku lapar."
"Aku... tidak akan menjadi 'biasa saja'. Aku akan menjadi... yang memotong segalanya," ujar Rian dengan nada penuh keyakinan. Mata birunya menatap pedang kayu itu seolah-olah itu adalah senjata suci yang paling berharga.
Soran tertawa terbahak-bahak, tawanya memecah kesunyian malam di pinggiran Silvaris Aeterna. "Hahaha! Bagus! Itu baru muridku! Tapi simpan bicaramu untuk besok pagi, karena jika kau tidak menyelesaikan cucian piring malam ini, aku akan menyuruhmu berburu babi hutan hanya dengan menggunakan sendok yang kau patahkan tadi pagi!"
Rian mendengus dan berjalan mengikuti Soran kembali ke gubuk, sambil menyeret pedang kayu berat itu. Di dalam kegelapan Dantiannya, benih cahaya itu terus berdenyut, semakin terang setiap kali Rian menarik napas. Perjalanan delapan tahun menuju usia delapan belas telah dimulai, dan meskipun ia tertinggal jauh di garis start, Rian tahu bahwa dalam setiap rintangan yang ia hadapi, ada sebuah titik rasio yang bisa ia tembus untuk mencapai puncak.
