Cherreads

Chapter 3 - BAB 2: FONDASI DI ATAS RASA SAKIT

Matahari bahkan belum sempat mengintip dari ufuk timur ketika sebuah suara ledakan kecil terdengar di pinggiran Silvaris Aeterna. Suara itu bukan berasal dari sihir penyerang atau monster yang mengamuk, melainkan suara ember kayu penuh air dingin yang menghantam wajah seorang bocah laki-laki yang sedang tertidur pulas di lantai gubuk.

"Bangun, Bocah Bau! Matahari sudah mau memarahi kemalasanmu!" teriak Soran dengan suara cempreng yang sangat tidak cocok dengan reputasinya sebagai ksatria terkuat.

Rian tersentak, tubuhnya secara insting melenting ke udara sebelum mendarat dengan empat kaki di atas meja kayu. Rambut hitamnya basah kuyup, dan matanya berkilat biru neon, menatap Soran dengan geraman rendah yang keluar dari tenggorokannya. Di mata Rian, tubuh Soran kembali terbagi menjadi sepuluh bagian, dan ia sudah siap menerjang leher pria itu.

"Hah! Masih saja pakai posisi anjing begitu," Soran mendengus sambil mengorek telinganya dengan santai. Ia berdiri di sana hanya mengenakan celana pendek dan handuk yang tersampir di bahunya. "Berdiri tegak dengan dua kaki, Rian. Kau manusia, bukan peliharaan Kyuden lagi. Kalau kau masih merangkak seperti itu, aku akan memakaikanmu kalung leher dan merantai kau di kandang babi."

Rian perlahan menurunkan emosinya, meskipun matanya masih menatap tajam. Ia mencoba berdiri tegak, namun kakinya terasa gemetar karena ia belum terbiasa dengan posisi vertikal dalam waktu lama. "Air... dingin... Soran... Bodoh," gerutu Rian. Kosakatanya mulai bertambah, meskipun susunan kalimatnya masih hancur berantakan.

"Itu namanya mandi pagi, dasar udik," sahut Soran sambil melempar sebuah kain kasar ke wajah Rian. "Lap tubuhmu. Setelah itu, kita sarapan. Dan ingat, pakai sendok. Kalau kulihat kau menjilat piring lagi seperti kemarin, aku akan memukul bokongmu sampai kau tidak bisa duduk selama seminggu."

Sarapan pagi itu adalah sebuah perjuangan bagi Rian. Di depannya terdapat semangkuk bubur gandum yang terlihat tidak menarik dan sebuah sendok perak yang sudah kusam. Rian menatap sendok itu seolah-olah itu adalah senjata rahasia yang mematikan. Matanya secara otomatis membedah struktur sendok itu. Ia melihat titik 7:3 tepat di bagian leher sendok yang tipis.

Rian memegang sendok itu dengan genggaman yang terlalu kuat.

Krek.

Sendok itu bengkok tepat di titik rasionya.

"YA AMPUN!" Soran menepuk jidatnya dengan keras. "Itu sendok ketiga minggu ini, Rian! Kau tidak perlu menggunakan kekuatan penuhmu hanya untuk mengambil bubur! Kendalikan matamu itu! Jangan terus-menerus mencari cara untuk menghancurkan barang-barang di rumahku!"

"Struktur... lemah," jawab Rian pendek, menatap potongan sendok di tangannya dengan bingung.

"Tentu saja lemah, itu sendok, bukan zirah naga!" Soran merampas potongan sendok itu dengan kesal. "Dengar, Bocah. Kau punya teknik Septem yang hebat. Kau bisa melihat kelemahan dunia. Tapi masalahmu adalah kau tidak punya 'rem'. Kau melihat segala sesuatu sebagai sasaran untuk dihancurkan. Seorang Knight sejati tahu kapan harus menghancurkan dan kapan harus menahan diri. Sekarang, makan pakai tanganmu saja, dasar monster kecil."

Setelah drama sarapan berakhir, Soran membawa Rian ke halaman depan yang dipenuhi pedang karatan. Udara di sana terasa berbeda; ada tekanan mana yang stabil dan menenangkan. Soran duduk di atas sebuah batu besar, wajahnya yang tadi konyol perlahan berubah menjadi serius, meskipun ia masih memegang botol arak yang entah sejak kapan sudah ada di tangannya.

"Rian, kemari. Duduk bersila," perintah Soran.

Rian menurut, meskipun ia lebih suka berjongkok.

"Kau tahu kenapa kau merasa lelah setelah menggunakan matamu?" tanya Soran.

Rian menggeleng. Ia hanya tahu bahwa setelah melihat garis-garis biru itu terlalu lama, kepalanya akan terasa seperti ditusuk ribuan jarum.

"Itu karena kau menggunakan energi kehidupanmu secara mentah. Tubuhmu itu seperti wadah yang bocor," Soran mulai menjelaskan dengan nada yang lebih dalam. "Dunia ini dipenuhi oleh Mana. Bagi kami, para Knight, Mana bukan untuk dilempar-lempar seperti bola api para penyihir sombong itu. Kami menghisapnya, memurnikannya, dan menyimpannya di satu titik. Titik itu disebut Dantian."

Soran menunjuk ke arah perut bawahnya. "Di sana, kami memadatkan Mana hingga membentuk kristal energi yang kami sebut Star Core. Satu bintang, dua bintang, hingga yang paling tinggi adalah dua belas bintang. Semakin banyak bintang yang kau miliki, semakin kuat fisikmu, semakin tajam inderamu, dan yang paling penting bagi kau... semakin kuat wadahmu untuk menanggung beban matamu."

Rian mendengarkan dengan seksama. Kata-kata Soran terdengar seperti nyanyian kuno yang masuk ke dalam sanubarinya.

"Sekarang, tutup matamu. Bukan dengan kelopak mata saja, tapi bayangkan kau menutup sebuah pintu di dalam kepalamu," ujar Soran. "Rasakan aliran udara yang masuk melalui hidungmu. Jangan melihat garis-garis itu. Rasakan saja kehangatan yang ada di sekitarmu."

Rian mencoba menutup matanya. Kegelapan menyambutnya, namun garis-garis 7:3 itu masih mencoba muncul seperti kilatan petir di balik kelopak matanya. Dunianya selalu terbagi, dan mencoba melihat dunia sebagai satu kesatuan yang utuh adalah tugas yang sangat sulit baginya.

"Gunakan teknik ini," Soran mulai menggumamkan sebuah ritme pernapasan. "Ini disebut The Great Breath of Aethel. Hirup dalam empat hitungan, tahan dalam tujuh, keluarkan dalam tiga. Ikuti ritmenya."

Rian mulai mengikuti. Satu... dua... tiga... empat... Udara hutan yang kaya akan Mana masuk ke dalam paru-parunya. Awalnya terasa dingin dan tajam, namun perlahan berubah menjadi hangat saat melewati tenggorokannya. Ia mencoba mengarahkan kehangatan itu ke arah perut bawahnya, seperti yang diperintahkan Soran.

Tiba-tiba, Soran melemparkan sebuah batu kecil ke arah kepala Rian.

Tak!

"Aduh!" Rian membuka matanya, menatap Soran dengan kesal. "Kenapa... pukul?"

"Kau kehilangan fokus," sahut Soran sambil menyeringai. "Jangan hanya bernapas. Kau harus tetap waspada. Di medan perang, musuh tidak akan menunggumu selesai bermeditasi. Sekarang, lupakan meditasi cantik ini. Angkut batu-batu itu ke atas bukit."

Soran menunjuk ke arah tumpukan batu besar yang masing-masing beratnya setidaknya tiga puluh kilogram. Bukit di belakang gubuk itu curam dan dipenuhi duri.

"Tanpa... mata?" tanya Rian.

"Ya. Kalau kulihat matamu berkilat biru, aku akan menambah beban batunya dua kali lipat," ancam Soran. "Gunakan kekuatan ototmu sendiri. Rasakan beratnya dunia tanpa harus mencoba membelahnya."

Latihan itu benar-benar neraka bagi Rian. Tanpa teknik Septem, ia tidak bisa melihat di mana titik tumpu batu yang paling stabil. Ia harus merasakan tekstur batu itu dengan kulitnya, merasakan bagaimana berat batu itu menekan bahunya, dan bagaimana kakinya harus mencengkeram tanah agar tidak merosot.

Berkali-kali Rian terjatuh. Lututnya berdarah, dan telapak tangannya lecet. Setiap kali ia merasa ingin menyerah dan menggunakan matanya untuk menghancurkan batu-batu itu menjadi debu, ia teringat wajah Soran yang sedang bersantai sambil minum arak di bawah. Rasa kesalnya memicu harga dirinya. Ia tidak ingin diremehkan oleh manusia konyol itu.

Matahari mulai terbenam saat Rian berhasil memindahkan batu terakhir. Tubuhnya gemetar hebat, keringat mengucur deras hingga membasahi tanah. Ia berjalan tertatih kembali ke gubuk, di mana Soran sudah menunggu dengan api unggun kecil.

"Duduklah," kata Soran pelan. Kali ini tidak ada nada mengejek.

Rian menjatuhkan dirinya di depan api unggun. Kelelahan yang ia rasakan melampaui apa pun yang pernah ia alami saat berburu bersama Kyuden. Namun, di tengah kelelahan itu, ia merasakan sesuatu yang aneh. Di bagian perut bawahnya, di tempat yang Soran sebut Dantian, ada sebuah denyutan kecil.

Denyutan itu tidak menyakitkan. Rasanya seperti setitik benih yang baru saja pecah di dalam tanah yang hangat.

"Kau merasakannya?" tanya Soran, matanya menatap api.

Rian mengangguk pelan. "Hangat... di sini," ia menunjuk perutnya.

Soran tersenyum tipis, sebuah senyuman bangga yang jarang ia perlihatkan. "Itu adalah benih Star Core-mu. Kau melakukannya dalam satu hari. Dasar monster."

Rian menatap tangannya yang kotor dan terluka. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia bukan hanya sekadar predator yang memiliki mata terkutuk. Ia adalah seseorang yang bisa membangun kekuatannya sendiri, inci demi inci, melalui rasa sakit dan kerja keras.

"Soran..." panggil Rian.

"Hmm?"

"Terima kasih... Guru Bodoh."

Soran tertawa terbahak-bahak hingga hampir tersedak araknya. "Hahaha! Kau benar-benar murid yang kurang ajar! Tapi baiklah, untuk hari ini aku terima. Sekarang pergi mandi, kau bau keringat dan lumpur. Besok, kita mulai latihan yang sebenarnya. Aku akan mengajarimu kenapa pedang karatan di luar sana lebih mematikan daripada taring monster manapun."

Rian berjalan menuju sungai dengan langkah yang lebih tegak dari sebelumnya. Di bawah cahaya rembulan, bayangannya tidak lagi terlihat seperti serigala yang merangkak, melainkan bayangan seorang pemuda yang mulai menemukan jalannya sebagai seorang Knight. Di dalam Dantiannya, setitik cahaya putih terus berdenyut, bersaing dengan kilatan biru di matanya, menciptakan sebuah harmoni baru yang akan mengubah takdirnya di masa depan.

More Chapters