Cherreads

Beyond The Veil of Outsider Knight

KentangGohenk
42
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 42 chs / week.
--
NOT RATINGS
1.8k
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - BAB 0: PROLOG – TITIK POTONG TAKDIR

Malam itu, langit di atas Kerajaan Aethelgard tidak berwarna hitam, melainkan merah tembaga yang menyesakkan. Bau jelaga dan besi berkarat—aroma khas darah yang mengering—tertiup angin kencang melintasi jalanan berbatu. Di tengah kota, lonceng katedral berdentang bertalu-talu, bukan untuk merayakan pesta panen, melainkan sebagai tanda peringatan akan lahirnya sesuatu yang dianggap sebagai bencana. Di dalam sebuah gang sempit yang gelap, seorang wanita berlari dengan napas yang tersengal-sengal. Di dadanya, ia mendekap sebuah bungkusan kain sutra putih yang kini telah ternoda oleh lumpur dan percikan api.

Di dalam bungkusan itu, seorang bayi laki-laki terlelap dengan tenang, seolah-olah hiruk-pikuk dunia di sekitarnya hanyalah nyanyian tidur yang jauh.

"Di sana! Ke arah hutan!" teriak suara parau dari kejauhan. Obor-obor menyala, membelah kegelapan malam seperti mata monster yang lapar. "Jangan biarkan benih kutukan itu tetap hidup! Habisi sebelum ia membuka matanya!"

Wanita itu, sang ibu, terus memacu kakinya yang gemetar. Ia tidak peduli jika duri-duri semak merobek kulit kakinya atau jika paru-parunya terasa seperti terbakar. Ia hanya memiliki satu tujuan: mencapai perbatasan Silvaris Aeterna. Hutan Kematian. Tempat di mana manusia biasa tidak akan berani melangkah masuk, tempat di mana mitos dan kengerian menjadi satu. Baginya, menyerahkan anaknya kepada kegelapan hutan jauh lebih baik daripada membiarkannya mati di tangan kerumunan orang yang telah kehilangan akal sehat karena ketakutan.

Langkah kakinya terhenti tepat di depan gerbang tak kasatmata hutan tersebut. Pepohonan di Silvaris Aeterna berdiri kokoh seperti raksasa yang membeku, dengan dahan-dahan yang saling melilit menyerupai jemari iblis. Kabut tebal merayap di tanah, dingin dan tak bernyawa. Di tempat ini, suara teriakan para pengejar mulai memudar, digantikan oleh kesunyian yang mencekam.

Wanita itu jatuh berlutut. Tangannya gemetar saat ia meletakkan bayi itu di bawah akar pohon besar yang menyerupai altar alami. Air matanya jatuh mengenai pipi sang bayi.

"Maafkan ibu, Rian..." bisiknya dengan suara yang pecah. "Dunia ini terlalu kecil untuk matamu. Dunia ini terlalu takut pada apa yang tidak mereka pahami. Jika Tuhan tidak ingin menjagamu, maka biarlah hutan ini yang menjadi rahim keduamu."

Tanpa berani menoleh ke belakang, wanita itu berdiri dan berlari kembali ke arah kota, memancing para pengejar menjauh dari tempat persembunyian bayinya. Ia tahu ia tidak akan selamat, tapi setidaknya, ia telah memberikan "kesempatan" bagi anaknya untuk bernapas sedikit lebih lama.

Di bawah akar pohon purba itu, bayi yang diberi nama Rian itu mulai bergerak. Udara dingin Silvaris Aeterna yang biasanya mampu membekukan jantung makhluk hidup, justru terasa seperti selimut yang menyegarkan baginya. Perlahan, kelopak matanya yang mungil terbuka.

Dunia pertama yang dilihat Rian bukanlah wajah hangat seorang ibu atau cahaya lampu kamar yang tenang. Dunia pertama yang dilihatnya adalah struktur yang hancur.

Mata Rian tidak melihat pepohonan sebagai kayu dan daun. Ia tidak melihat kabut sebagai uap air. Di matanya, segalanya terbagi. Sebelah matanya bergetar halus, dan seketika itu juga, realitas di hadapannya terfragmentasi. Secara otomatis, setiap objek yang tertangkap penglihatannya terbelah menjadi sepuluh bagian yang presisi. Di antara bagian-bagian itu, ada sebuah garis yang lebih terang, lebih tajam, dan lebih rapuh daripada yang lain. Titik rasio tujuh banding tiga. Itulah Septem.

Rian tidak menangis karena takut. Ia hanya menatap garis-garis itu dengan rasa ingin tahu yang murni. Baginya, dunia adalah sebuah susunan puzzle yang sangat mudah untuk dipatahkan.

Tiba-tiba, kesunyian hutan itu terpecah. Semak-semak di depan sang bayi berdesir hebat. Sepasang mata berwarna kuning keemasan yang sebesar piring kecil muncul dari balik kegelapan. Udara di sekitar tempat itu mendadak menjadi berat, penuh dengan aura pemangsa yang sangat kuat.

Sesosok makhluk raksasa melangkah keluar. Itu adalah Kyuden, sang penguasa Silvaris Aeterna. Seekor rubah dengan ukuran sebesar rumah kecil, dengan bulu perak kebiruan yang memancarkan cahaya redup seperti rembulan. Tiga ekor besarnya bergerak-gerak di belakangnya, menghancurkan batu-batu kecil hanya dengan sentuhan ringan. Kyuden telah hidup selama ratusan tahun di hutan ini, memangsa pahlawan, monster, dan petualang yang cukup bodoh untuk masuk ke wilayahnya.

Baginya, seorang bayi manusia hanyalah camilan kecil yang tidak akan mengenyangkan perutnya.

Kyuden mendekat, moncongnya yang besar kini hanya berjarak beberapa senti dari wajah Rian. Gigi-giginya yang setajam pedang terlihat saat ia sedikit membuka mulut, siap untuk menelan bayi itu dalam satu gigitan.

Namun, saat itulah sesuatu yang aneh terjadi.

Rian menjulurkan tangannya yang mungil. Jari-jarinya yang kecil mencoba menyentuh hidung besar sang rubah. Namun, yang membuat Kyuden terhenti bukanlah sentuhan itu, melainkan tatapan mata bayi tersebut.

Mata biru jernih milik Rian menatap langsung ke dalam pupil emas Kyuden. Di dalam penglihatan Rian, tubuh Kyuden yang besar dan kuat itu tidak lebih dari sekadar susunan sepuluh bagian. Garis merah tipis melintang tepat di leher sang rubah—titik rasio tujuh banding tiga. Tanpa sadar, bayi itu menggerakkan jarinya seolah ingin membelah garis tersebut.

Kyuden, makhluk yang memiliki instink purba yang sangat tajam, tiba-tiba merasakan bulu kuduknya berdiri. Sebuah sensasi yang sudah lama tidak ia rasakan: ketakutan. Ia merasa jika bayi ini menyentuh garis imajiner yang dilihatnya, maka leher Kyuden akan terpisah dari tubuhnya secara instan, mengabaikan segala kekuatan sihir dan pertahanan fisik yang ia miliki selama berabad-abad.

Kyuden menarik kepalanya mundur dengan cepat. Ia menggeram rendah, suaranya menggetarkan tanah. 'Makhluk apa ini?' batin sang rubah, meskipun ia tidak bisa berbicara dalam bahasa manusia. Ia merasakan kekuatan yang melampaui logika hutan ini. Mata itu bukan hanya sekadar organ tubuh, itu adalah otoritas kematian yang dipadatkan menjadi sebuah anugerah—atau kutukan.

Kyuden kembali menatap bayi itu. Rian kini tersenyum, mengeluarkan suara tawa kecil yang polos. Ancaman kematian yang baru saja dirasakan Kyuden seolah menguap, digantikan oleh rasa hormat yang aneh terhadap makhluk kecil ini. Di dalam hutan yang penuh dengan kebencian dan kekerasan, bayi ini adalah sebuah anomali. Ia adalah penguasa yang belum terbangun.

Dengan gerakan yang sangat lembut, bertolak belakang dengan ukurannya yang masif, Kyuden menjulurkan lidahnya dan menjilat pipi Rian, membersihkan sisa air mata sang ibu. Ia kemudian menggunakan moncongnya untuk mengangkat bungkusan kain itu, membawa Rian ke atas punggungnya yang berbulu tebal dan hangat.

Kyuden berbalik, melangkah masuk lebih jauh ke dalam jantung Silvaris Aeterna, melewati pepohonan yang merunduk seolah memberi jalan bagi raja baru mereka. Di luar hutan, api masih membakar Aethelgard, dan orang-orang masih meneriakkan kata "kutukan" dengan penuh kebencian. Mereka tidak sadar bahwa dengan membuang bayi itu, mereka baru saja melepaskan sesuatu yang suatu hari nanti akan kembali untuk memotong dunia mereka tepat pada titik rasionya.

Malam itu, di bawah perlindungan sang rubah perak, Rian tidak lagi menjadi anak yang dibuang. Ia menjadi bagian dari hutan. Ia menjadi predator di antara para predator. Dan di balik kelopak matanya yang terpejam kembali karena kantuk, teknik Septem berdenyut pelan, menunggu waktu yang tepat untuk menunjukkan kepada dunia betapa rapuhnya sebuah struktur kehidupan.

Hutan Silvaris Aeterna yang biasanya dipenuhi suara jeritan monster, malam itu terasa sangat sunyi. Seolah-olah seluruh penghuninya menahan napas, menyaksikan awal dari sebuah legenda yang akan tertulis dengan tinta darah dan garis-garis presisi.

Rian tertidur pulas dalam dekapan bulu Kyuden. Perjalanan panjangnya baru saja dimulai. Dari seorang bayi yang dianggap sampah, ia akan tumbuh menjadi sosok yang menentukan di mana dunia harus dipotong. Takdir tidak lagi berada di tangan dewa atau ramalan para pendeta Aethelgard. Takdir kini berada di tangan seorang anak yang bisa melihat kelemahan dalam setiap inci keberadaan.

Sepuluh bagian. Tujuh banding tiga. Dan satu sentuhan yang akan mengakhiri segalanya.