Untuk pertama kalinya setelah kegaduhan itu, ruangan inti terasa terlalu sempit bagi tiga orang yang berdiri di dalamnya.
Cahaya biru Core Eldran meredup ke intensitas stabil, seakan menunggu apa yang akan dilakukan dua darah Valtherion berikutnya.
Pemuda Valtherion dari cabang lain—yang sampai sekarang bahkan belum menyebutkan namanya—mengusap darah yang menetes dari pelipisnya. Napasnya masih berat, tetapi sorot matanya sudah kembali tajam.
Kael akhirnya membuka mulut.
"Kalau kau datang untuk melindungiku… berarti kau tahu siapa yang mengincar garis keturunanku."
Pemuda itu memutar bahu, terdengar seperti tulangnya retak halus. "Tahu dikit. Bukan semuanya."
Ariane mengambil langkah maju. "Kalau begitu, beri tahu apa pun yang kau tahu sekarang."
Pemuda itu melihat ke arah Ariane sebentar, lalu kembali ke Kael.
"Di timeline-ku… semuanya hilang dalam satu malam. Valtherion—Core, akademi, keturunan, bahkan para Guardian—habis tanpa jejak."
Kael mengernyit. "Dihancurkan?"
Pemuda itu menggeleng lambat.
"Bukan dihancurkan. Dihapus."
Kata itu jatuh seperti batu besar.
Ariane spontan merinding. "Dihapus…? Maksudmu—tidak pernah ada?"
"Ya."
Pemuda itu menunjuk ke lantai, pada lingkaran rune yang tadi menyala.
"Itu juga alasan aku hampir mati tadi. Aku diuji sama inti ini, buat mastiin aku bukan bagian dari entitas yang ngehapus semuanya di timeline-ku."
Kael menelan udara berat. "Jadi apa pun itu… bisa menghapus garis Valtherion dari eksistensi."
"Dan sekarang dia pindah ke timeline ini." Pemuda itu mendecak kecil.
"Aku bahkan nggak tau gimana cara dia ngelacak lo. Tapi yang jelas… kau target utama."
Kael memalingkan wajah, tatapannya mengeras.
"Kenapa aku?".
Pemuda itu mengangkat dua jari.
"Satu: Karena kau punya akses paling besar ke Eldran."
Jari kedua.
"Dua: Karena kau satu-satunya Valtherion yang—di semua cabang multiline— selalu milih buat nyelametin orang lain, bukan diri sendiri."
Kael terdiam. Ariane menatap Kael dengan ekspresi sulit dijelaskan—antara kagum dan takut.
"Jadi,".
pemuda itu lanjut.
"sebelum musuh itu ketemu kau… kita harus nemuin apa yang hilang dari garis Valtherion di timeline ini."
Kael mengangkat kepala.
"Apa maksudmu hilang?"
Pemuda itu menjentikkan jarinya.
"Warisan. Ada warisan Valtherion yang seharusnya diwariskan ke keturunan berikutnya… tapi di timeline-mu? Keberadaannya nihil. Kayak sengaja disembunyikan."
Ariane mengerutkan dahi. "Warisan apa?"
"Kalung Valtherion. Symbol of Origin." Pemuda itu menunjuk lehernya yang kosong. "Di timeline-ku, setiap Valtherion punya satu. Kau seharusnya juga punya."
Kael menyentuh tenggorokannya refleks. Kosong.
"…aku bahkan belum pernah mendengarnya."
"Persis."
Pemuda itu menyandarkan punggung ke pilar, setengah lelah setengah muak.
"Kayak ada yang ngapus jejaknya dari sejarah kalian."
Core Eldran tiba-tiba menyala pelan, lalu memproyeksikan sebuah bentuk samar—siluet sebuah kalung dengan inti kristal kecil di tengah.
Kael mendekat. "Itu…?"
Suara Eldran bergema:
"Warisan Valtherion. Hilang sejak tiga generasi sebelum Kael."
Pemuda itu bersiul pelan. "Tuh kan."
Ariane menatap gambar itu dengan mata melebar. "Kalau itu hilang… dan musuhmu menyerang timeline-nya… berarti warisan itu penting."
Kael mengepal.
"Apa yang harus kita lakukan?"
Pemuda itu tersenyum tipis.
"Pertama, kita cari kalung itu. Dimulai dari catatan lama Valtherion yang—aku yakin—sudah diacak-acak seseorang."
"Dan kedua…" Ia menepuk bahu Kael seperti teman lama.
"Kau, Kael… harus mulai belajar cara bertahan hidup sebagai Valtherion. Karena mulai hari ini, kau bukan lagi cuma murid."
Kael menatap pemuda itu, tatapannya kokoh.
"Aku siap."
Pemuda itu mengangkat alis. "Oho? Cepet berubah."
Kael mengangguk sekali. "Kalau dunia bisa lenyap hanya karena aku gagal bertahan… maka aku tidak punya pilihan selain melawan."
Ariane tersenyum tipis, bangga. "Begitu yang kupilih dari awal."
Core Eldran menutup proyeksi, dan lantai kembali stabil.
Pemuda itu akhirnya berdiri tegak.
"Oke. Mulai dari sublevel perpustakaan lama Valtherion. Tempat itu disegel, tapi kalau kau Valtherion… harusnya bisa buka."
Kael mengambil napas panjang. "Baik. Kita pergi sekarang."
Pemuda itu menepuk tangan.
"Bagus. Dan kalau kita ketemu sesuatu yang aneh—"
Ia menunjuk dirinya sendiri sambil tersenyum miring.
"—aku duluan."
Kael mengangguk. "Tidak. Kita maju bersama."
Pemuda itu terdiam sebentar… lalu menghela napas panjang sambil tersenyum samar.
"…okee, itu jawaban yang paling Valtherion banget."
Mereka bertiga melangkah keluar dari ruang inti, meninggalkan cahaya Eldran yang berdenyut perlahan—
—seakan mengiringi awal dari perjalanan yang jauh lebih besar.
