Di pinggiran terdalam Silvaris Aeterna, di mana kabut tidak lagi terasa mencekam melainkan terasa seperti pelindung, terdapat sebuah anomali. Di tengah hutan yang seharusnya dihuni oleh monster pemakan manusia, berdiri sebuah gubuk kayu reyot yang dikelilingi oleh ribuan pedang karatan. Pedang-pedang itu tertancap di tanah dengan pola yang tidak beraturan, menciptakan sebuah labirin logam yang berkarat namun memancarkan aura tekanan yang sanggup membuat jantung ksatria manapun berhenti berdetak jika berani melangkah masuk tanpa izin.
Pagi itu, kesunyian tempat itu terpecah bukan oleh denting pedang, melainkan oleh langkah kaki yang berat dan getaran tanah yang ritmis.
Kyuden, Sang Azure Calamity, melangkah keluar dari balik pepohonan raksasa. Di punggungnya yang berbulu perak, seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun mencengkeram bulunya erat-erat. Anak itu, Rian, tidak mengenakan pakaian layaknya manusia. Ia hanya terbungkus selembar kulit binatang yang kasar. Rambut hitamnya berantakan, dan yang paling mencolok adalah matanya—biru jernih, tajam, dan terus-menerus bergerak mengikuti garis-garis imajiner yang hanya bisa ia lihat.
Rian mengeluarkan geraman rendah saat melihat gubuk itu. Baginya, bangunan itu adalah benda asing yang tidak memiliki "kehidupan", sebuah anomali dalam struktur hutan yang biasa ia kenali.
"Tenanglah, Rian," suara Kyuden bergema di dalam kepala anak itu. "Kita di sini bukan untuk berburu. Kita di sini untuk menyerahkanmu pada seseorang yang jauh lebih berbahaya dari monster manapun di hutan ini."
Kyuden berhenti tepat di depan barisan pedang pertama. Ia tidak melangkah maju, seolah menghormati batas yang tidak terlihat.
"Soran! Bangun, kau manusia pemalas! Aku datang untuk menagih janji yang kau ikat dengan darahmu sepuluh tahun lalu!" raung Kyuden. Suaranya membuat burung-burung di sekitar terbang berhamburan, dan debu-debu di gubuk itu rontok.
Pintu gubuk yang miring itu berderit terbuka. Sesaat kemudian, seorang pria dengan rambut acak-acakan berwarna perak kusam muncul. Ia hanya mengenakan celana kain longgar dan kemeja putih yang kancingnya terbuka separuh, memperlihatkan bekas luka melintang di dadanya. Di tangan kanannya, ia memegang sebuah botol keramik berisi arak murah yang aromanya tercium hingga jarak sepuluh meter.
Pria itu, Soran, menguap lebar hingga air matanya keluar. Ia mengucek matanya sejenak sebelum menatap rubah raksasa di depannya.
"Hah? Kyuden? Kau mengganggu tidur siangku yang berharga demi... tunggu, apa itu?" Soran menyipitkan matanya, melihat sosok kecil di punggung Kyuden. "Kau membawakanku camilan? Maaf, temanku, seleraku sudah berubah. Aku lebih suka daging babi hutan daripada anak manusia yang kurus kering begitu."
Rian, yang merasa terhina oleh nada bicara Soran, tiba-tiba melompat dari punggung Kyuden. Gerakannya sangat liar, persis seperti predator yang menerjang mangsa. Tangannya yang mungil membentuk cakar, dan matanya berkilat biru. Dalam penglihatan Rian, tubuh Soran terbagi menjadi sepuluh bagian yang rumit. Garis 7:3 melintang tepat di pergelangan tangan Soran yang memegang botol arak.
Sret—!
Rian melesat dengan kecepatan yang tidak masuk akal untuk anak seusianya. Namun, tepat sebelum jarinya menyentuh garis itu, Soran hanya menggeser kakinya sedikit—gerakan yang tampak malas namun sangat efisien.
"Oho?" Soran menaikkan alisnya. Ia melihat lengan bajunya yang sedikit robek. "Barusan itu... kau mengincar titik sendiku? Menarik."
Rian mendarat dengan empat kaki, menggeram seperti serigala, siap untuk menerjang kembali. Namun, sebuah tekanan luar biasa tiba-tiba jatuh dari langit. Soran tidak bergerak, namun udara di sekitarnya mendadak menjadi sangat berat.
"Duduk, Bocah," ujar Soran. Suaranya tidak lagi malas, melainkan dingin dan berat seperti gunung yang runtuh.
Rian terpaksa menekan tubuhnya ke tanah. Instingnya berteriak bahwa pria di depannya ini adalah puncak dari segala struktur yang pernah ia lihat. Jika Kyuden adalah badai, maka pria ini adalah pedang yang bisa membelah badai tersebut.
"Dia bukan camilan, Soran," Kyuden menyela, suaranya kembali tenang. "Dia adalah anak yang kumaksud sepuluh tahun lalu. Dia memiliki Septem. Dia melihat dunia melalui rasio kematian. Jika aku terus membiarkannya di dalam hutan, dia tidak akan menjadi manusia. Dia akan menjadi kehancuran yang tidak memiliki akal."
Soran terdiam. Ia meneguk araknya hingga habis, lalu melempar botol kosong itu ke samping. Ia berjalan mendekati Rian yang masih bersiaga di tanah. Soran berjongkok, menatap langsung ke mata biru Rian.
"Septem, ya? Mata yang membagi segalanya menjadi sepuluh bagian dan menghancurkan rasionya," gumam Soran. "Pantas saja. Anak ini tidak melihatku sebagai orang, dia melihatku sebagai kumpulan titik lemah."
Soran tertawa kecil, lalu tiba-tiba ia menjentikkan kening Rian dengan keras.
Plak!
"Aduh!" Rian berteriak. Itu adalah kata pertama yang keluar dari mulutnya dalam bahasa manusia, meskipun terdengar agak aneh dan kasar. Ia memegangi keningnya yang memerah, menatap Soran dengan penuh amarah.
"Dengarkan aku, Bocah. Di dunia ini, kekuatan bukan hanya tentang membelah sesuatu," kata Soran sambil berdiri kembali. "Kau punya mata yang hebat, tapi tubuhmu sampah. Kau tidak punya sirkulasi mana, kau tidak punya teknik, dan yang paling parah... kau bau rubah."
Kyuden mendengus tidak senang. "Jaga bicaramu, Manusia."
"Yah, janji adalah janji," Soran menghela napas panjang, menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aku akan menerimanya. Aku akan mengajarinya cara berdiri tegak sebagai manusia, dan cara menggunakan pedang tanpa harus menjadi budak dari matanya sendiri."
Soran menatap Kyuden dengan serius. "Tapi jangan harap aku akan bersikap lembut. Aku akan menghancurkannya berkali-kali sampai dia mengerti apa artinya menjadi seorang Knight."
Kyuden mengangguk. "Itulah alasan aku membawanya padamu, Master Knight ke-11. Didiklah dia. Dunia luar sedang menunggu 'Kutukan' ini kembali, dan aku ingin dia kembali bukan sebagai kutukan, melainkan sebagai hukum."
Tanpa kata pamit yang panjang, Kyuden berbalik. Dengan satu lompatan besar, ia menghilang ke dalam kabut hutan, meninggalkan Rian sendirian di depan gubuk pedang itu.
Rian mencoba mengejar, namun sebuah tangan besar mencengkeram belakang leher kulit binatangnya, mengangkatnya seperti anak kucing.
"Lepas! Lepas!" teriak Rian, meronta-ronta.
"Diamlah, Bocah bau. Nama kau siapa?" tanya Soran sambil berjalan masuk ke gubuknya, menyeret Rian.
"Rian..." jawabnya pendek, mencoba menggigit tangan Soran, namun Soran dengan mudah menghindar.
"Rian, ya? Nama yang bagus untuk anak yang akan kupukul setiap hari," Soran menyeringai konyol. "Selamat datang di neraka pribadimu. Hal pertama yang akan kita pelajari bukan cara membelah gunung, tapi cara mencuci piring dan mandi dengan benar. Seorang Knight yang hebat tidak boleh bau ketiak rubah."
"Cuci... piring?" Rian mengulangi kata itu dengan bingung. Baginya, itu terdengar lebih menakutkan daripada melawan babi hutan obsidian.
Soran mendudukkan Rian di sebuah kursi kayu yang hampir patah. Di atas meja, terdapat sebuah roti keras dan segelas air. "Makan itu. Mulai besok, kau akan belajar tentang Star Core. Aku akan menunjukkan padamu bahwa dunia ini jauh lebih luas daripada sekadar titik tujuh banding tiga yang kau lihat itu."
Rian menatap roti itu, lalu menatap Soran. Matanya perlahan memudar dari warna biru neon ke biru yang lebih gelap dan tenang. Di dalam ruangan sempit yang berbau arak dan debu ini, Rian merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan di hutan yang luas. Sebuah kehadiran manusia yang hangat, meskipun sangat menyebalkan.
"Guru..." bisik Rian pelan, mencoba merasakan kata itu di lidahnya.
"Jangan panggil aku Guru kalau kau belum bisa membentuk satu Star Core pun di Dantianmu," sahut Soran sambil berbaring di sofa tua. "Panggil saja aku Tuan Soran yang Tampan. Itu lebih cocok."
Rian mengerutkan kening. "Soran... Bodoh."
"Hah?! Apa kau bilang?!" Soran bangkit, namun Rian sudah mulai menggigit rotinya dengan lahap, pura-pura tidak mendengar.
Malam itu, di bawah atap gubuk yang bocor, perjalanan sepuluh tahun Rian bersama manusia terkuat yang pernah ada resmi dimulai. Di luar, pedang-pedang karatan itu bergetar pelan, seolah menyambut kehadiran pemilik baru yang suatu saat nanti akan melampaui mereka semua.
Rian tertidur di lantai kayu, masih memeluk lututnya. Di dalam mimpinya, ia tidak lagi melihat garis-garis kematian, melainkan sesosok pria yang membelah awan hanya dengan satu jari. Ia mulai menyadari bahwa matanya bukanlah segalanya, dan perjalanannya untuk menjadi manusia sejati baru saja dimulai.
