Cherreads

Nine Spirit World

Dhiq404
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
1.3k
Views
Synopsis
Di Benua Ruyin, lima Kekaisaran raksasa saling berdiri seperti pilar dunia, namun kedamaian di antara mereka bertahan hanya karena satu tempat: Balai Pagoda Roh, pusat diplomasi, perdagangan, dan hukum internasional tempat semua Kekaisaran wajib tunduk pada aturan bersama. Balai Pagoda Roh dipimpin oleh seorang wanita misterius, Wa’imeng’er, tokoh yang dianggap sebagai penjaga kestabilan benua. Tidak ada yang mengetahui masa lalunya, usianya, atau kekuatan sejatinya—yang jelas, selama ia duduk di puncak pagoda, tidak ada Kekaisaran yang berani memulai perang. Namun ketenangan panjang itu retak ketika Kekaisaran Tianlong jatuh ke tangan Kaisar baru: Xuyu Wansyi, penguasa kejam yang memerintahkan penarikan pajak besar saat rakyat terpuruk oleh bencana. Penolakan rakyat pada malam itu berakhir menjadi tragedi pembantaian yang mengguncang seluruh benua. Sementara dunia bergejolak, di sebuah desa kecil yang jauh dari hiruk pikuk kekuasaan, seorang anak laki-laki bernama Wu Yan tumbuh tanpa mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Ia dibesarkan oleh seorang pria asing yang suatu hari menghilang, meninggalkan satu pesan: “Jika kau ingin mengetahui siapa orang tuamu… jadilah kuat. Kuat hingga dunia memandangmu.” Pesan itu menjadi awal perjalanan Wu Yan menjelajahi dunia yang tak pernah ia kenal—dunia penuh Kekaisaran serakah, sekte kuno, monster roh raksasa, dan kekuatan tersembunyi yang bangkit dari zaman purba. Dalam perjalanannya ia bertemu seorang gadis ceria yang menyembunyikan identitasnya sebagai putri dari salah satu Kekaisaran besar. Gadis itu menjadi cahaya dalam langkah Wu Yan, tanpa ia tahu bahwa takdir mereka akan diuji dengan cara yang tak terduga. Saat Balai Pagoda Roh terguncang, Kekaisaran saling mengincar, dan sembilan monster roh kuno mulai bergeser dari tidurnya, Wu Yan berdiri di tengah pusaran sejarah—membawa rahasia besar yang bahkan ia sendiri belum menyadarinya. Di dunia yang menuju kehancuran, hanya mereka yang memiliki tekad dan kekuatanlah yang mampu menentukan masa depan Benua Ruyin.
VIEW MORE

Chapter 1 - Chapter 1 : Sungai darah Tianlong

Malam itu, langit Tianlong tidak berbintang. Seolah seluruh semesta menolak menyaksikan apa yang akan terjadi di bawahnya. Angin yang biasanya membawa aroma tanah basah kini hanya membawa bau kematian yang perlahan naik dari desa-desa yang diselimuti bayangan pasukan elit kekaisaran.

Di balik kabut tipis, ratusan pasukan berseragam hitam bergerak seperti bayangan. Langkah mereka serempak, tidak tergesa namun penuh kepastian—langkah yang hanya diambil oleh mereka yang sudah memutuskan untuk tidak mengenal belas kasihan. Di dada mereka, lambang Tianlong tampak berkilau oleh pantulan obor, namun malam itu cahaya itu bukan simbol perlindungan—melainkan ancaman.

Perintah Kaisar Xuyu Wansyi telah turun.

Pendek, jelas, tanpa ruang penafsiran:

"Siapa pun yang tidak membayar pajak malam ini… anggaplah mereka pengkhianat."

Sebuah kalimat yang mampu mengubah seisi kekaisaran menjadi sungai darah.

Para prajurit tiba di desa pertama sebelum tengah malam. Penduduk yang kelaparan sebagian besar tertidur, tubuh mereka lemah setelah berhari-hari bertahan hanya dengan air dan sedikit umbi liar. Dentingan tombak menghantam pintu-pintu rumah, membangunkan mereka dalam mimpi buruk.

"Keluar! Semua rakyat keluar!" teriak komandan pasukan dari punggung kudanya.

Api obor menari di wajah-wajah penuh nafsu dan kekejaman. Dari balik pintu reyot, warga keluar satu per satu. Wajah pucat, tubuh gemetar—bukan hanya karena dingin malam, tapi karena firasat buruk yang mengiris tulang.

"Bayar pajakmu. Sekarang!"

Beberapa warga mencari kantong kain berisi koin terakhir dengan panik. Sebagian hanya terdiam, memeluk anak-anak mereka. Wajah mereka memucat, bibir bergetar, air mata mulai menetes.

Seorang ibu muda maju. Tubuhnya kurus, wajahnya pasi. Di tangannya hanya beberapa keping koin tembaga—terlalu sedikit bahkan untuk sekantung nasi.

"Yang Mulia… kami sudah tidak punya apa-apa lagi…" suaranya pecah, gemetar seperti ranting yang patah tertiup angin.

Komandan menatapnya tanpa emosi.

"Kalau begitu, kalian adalah pengkhianat."

Pedangnya menghunus leher wanita itu. Kepala berguling jatuh, tubuh terjerembab dalam posisi sujud—seolah masih memohon ampun pada dunia yang telah hilang rasa kemanusiaannya.

Teriakan mengguncang desa.

Anak kecilnya—sekitar tujuh tahun—berlari sambil menjerit, memeluk tubuh ibunya yang sudah tak bernyawa.

"Ibu!! Bangun, Ibu! Jangan tinggalkan aku!" Suaranya pecah, terisak hebat.

Sang komandan hanya menatap dingin.

"Bunuh semua yang tidak mampu membayar."

Malam itu, darah mengalir seperti sungai.

Di sudut desa, seorang ayah memeluk putrinya erat. Gadis kecil itu bersembunyi di balik bahunya, tubuh gemetar hebat. Ayahnya hanya memiliki dua keping koin—lebih sedikit dari yang dibutuhkan untuk hidup, apalagi pajak Kaisar.

"Kau bisa membayar?" tanya tentara dengan nada mengejek.

Ayah itu menggeleng.

"Aku… tidak punya lagi."

Putrinya menangis keras, "Ayah! Ayah jangan tinggalkan aku!"

Ia menggenggam leher ayahnya seolah pelukan itu bisa menahan maut.

Ayah itu tersenyum lemah.

"Jangan takut… ayah di sini. Ayah selalu di sini…"

Saat pedang tentara menanjak, ayah itu memeluk putrinya lebih erat—terlalu erat—seolah tahu ini adalah pelukan terakhir.

"Maafkan ayah… maafkan ayah tidak bisa memberikan dunia yang lebih baik…"

Pedang menembus punggungnya, tubuh putrinya ikut berlumuran darah ayahnya sendiri. Gadis itu menjerit, matanya menatap kosong dunia yang kejam.

Di desa lain, seorang wanita berlari di gelap sambil menggendong bayi kecil. Nafas tersengal, rambut berantakan, air mata terus menetes. Di belakangnya terdengar langkah pasukan Tianlong yang semakin dekat.

"Cepat… cepat… jangan biarkan mereka menang," gumamnya pada diri sendiri.

Bayinya—Wu Yan—masih terlalu kecil untuk mengerti kekejaman dunia. Matanya berkedip menatap bulan remang. Tangannya menggenggam udara, mencari kehangatan.

Ia tiba di tepi sungai. Air mengalir deras, dingin, gelap. Mata sang ibu bergetar—bukan karena takut, tapi karena hanya air ini harapan terakhir putranya hidup.

"Ibu… maafkan ibu… aku tidak bisa melindungimu… tapi kau harus hidup, Yan'er…" suaranya pecah, sambil mencium kening bayi.

Ia melepaskan gelang batu giok warisan keluarga, menyematkannya di pergelangan Wu Yan.

"Agar suatu hari… kau tahu, kau bukan anak tanpa asal…"

Suara langkah pasukan semakin dekat.

Dengan cepat, ia menempatkan Wu Yan di dalam keranjang, mengikatnya agar tidak terbalik, lalu mendorongnya ke aliran sungai.

Wu Yan tidak menangis. Ia hanya menatap langit—gelap, namun menjadi saksi awal perjalanan seorang anak yang kelak akan mengubah dunia.

Beberapa detik kemudian, pasukan menemukan ibu Wu Yan.

"Lari dari pajak adalah pengkhianatan," kata tentara dingin.

Wanita itu menatap sungai tanpa berkedip. Tepat sebelum tubuhnya tersungkur, ia berbisik:

"Yan'er… hiduplah…"

Malam semakin larut. Desa demi desa jatuh. Anak-anak menangis memanggil ibu, suara mereka pecah, menggema di udara malam—namun segera terhenti oleh pedang. Para ayah mencoba melawan, tapi satu tebas cukup memutus leher. Para ibu memohon pada langit, namun langit tetap sunyi.

Di desa terakhir, seorang gadis remaja menahan tubuh adiknya kecil.

"Kami tak punya apa-apa… ambil nyawaku saja. Biarkan dia hidup…"

Kapten pasukan menatap mereka dingin.

"…Bukan itu perintah Kaisar."

Gadis itu menatap langit terakhir kalinya. Air matanya jatuh. Sebelum tombak menebas, ia berbisik ke adiknya:

"Jangan benci dunia ini… suatu hari, seseorang akan mengubahnya…"

KAISAR MENIKMATI MALAM PEMBANTAIANNYA

Di puncak istana Tianlong, Kaisar Xuyu Wansyi berdiri di balkon tertinggi. Jubah ungu berkibar, emas kerahnya berkilau memantulkan cahaya bulan.

Ia menatap ke bawah, ke desa-desa yang terbakar. Obor pasukan terlihat seperti garis merah yang menjalar, ular api yang memakan hidup manusia satu per satu.

Di kejauhan terdengar jeritan, dibawa angin malam. Bagi rakyat, itu suara kekejaman. Bagi Wansyi… musik kemenangan.

Ia tertawa kecil, memutar cincin giok hitam di jarinya.

"Jeritannya indah. Rakyat yang takut adalah rakyat yang patuh. Rakyat yang patuh adalah fondasi kejayaan kekaisaran."

Ia mengangkat anggur merah di cawan, warnanya mirip darah.

"Untuk malam pajak pertama. Dan mereka yang terlalu miskin untuk mematuhiku. Semoga mereka menyuburkan tanah Tianlong."

Tidak ada rasa bersalah. Tidak ada bayangan penyesalan. Hanya kepuasan seorang tiran yang baru merasakan manisnya kekuasaan.

RIBUAN KILOMETER DARI TIANLONG

Di puncak kediaman Penatua Balai Pagoda Roh, seorang sosok berdiri di bawah pohon sakura yang meranggas: Wa'imeng'er, penjaga keseimbangan dunia, penuntun takdir bintang, saksi abadi zaman.

Gulungan berita melayang di sekitarnya, terbuka sendiri oleh kekuatan spiritual: Tianlong menjadi lautan darah.

Para penatua tua berdiri tegang, sesal merayap di mata mereka. Hukum dunia melarang mereka bertindak sembarangan. Sekali mereka turun tangan, bencana lebih besar akan lahir.

Wa'imeng'er menghela napas panjang, suara mengandung seribu tahun kelelahan.

"Rakyat Tianlong… maafkan kami," bisiknya, jemarinya gemetar.

Berita terus berdatangan: Desa kedua jatuh. Desa ketiga tak tersisa. Desa keempat dibakar habis.

Ia menggenggam gulungan, tidak bergerak. Ia hanya bisa menyaksikan. Menjadi saksi tragedi malam itu—"Sungai darah Tianlong."

"Dan di malam gelap itu… seorang anak kecil hanyut, membawa harapan tipis yang mungkin suatu hari akan mengubah segalanya…"