Dunia tidak lahir dari cahaya, melainkan dari rasa ingin tahu.
Sebelum peradaban, sebelum langit mengenal warna, hanya ada satu nama yang bergema di kehampaan—Eldran Valtherion, manusia pertama yang menolak tunduk pada kebodohan.
Dia bukan dewa, bukan pahlawan.
Dia hanyalah seorang pemuda cendekiawan yang menolak menerima bahwa manusia lahir untuk lemah.
Dalam kesendirian di dunia tanpa hukum atau arah, ia menulis ulang arti "kehidupan."
Dengan tangannya sendiri, ia menyalakan api pertama—api pengetahuan.
Dari reruntuhan perang besar yang melahap dunia selama sembilan tahun, Eldran berdiri di tanah yang tak bernama.
Tanah itu sunyi namun kaya—emas, perak, orichalcum, dan batu biru bercahaya yang tak dikenal manusia.
Ia memandang cakrawala dan berkata pada dirinya sendiri:
"Jika dunia tidak bisa memberi kedamaian, maka aku yang akan membangunnya sendiri."
Dan dari tekad itu, lahirlah kerajaan pertama.
Kerajaan Valtherion.
Namun Valtherion lebih dari sekadar kerajaan—ia adalah mimpi yang ditempa menjadi sistem.
Jalannya bersinar lembut di malam hari, temboknya menentang usia, dan sungainya mengalir dengan arus yang dikendalikan oleh mesin logika—ciptaan Eldran sendiri.
Orang-orang memanggilnya raja, tapi ia hanya tersenyum tipis dan menjawab:
"Aku bukan raja. Aku hanyalah manusia yang ingin memahami cara dunia bekerja."
Bertahun-tahun berlalu.
Valtherion tumbuh menjadi pusat pengetahuan dunia.
Cendekiawan, pedagang, dan pengembara datang dari segala penjuru untuk belajar, bertukar, dan mencari tempat berlindung.
Di tengah kemegahan itu, Eldran tidak pernah berhenti menulis, belajar, dan mencipta.
Ia membangun kapal terbang pertama, sistem komunikasi tanpa jarak pertama, dan mesin yang mengubah sinar matahari menjadi cahaya abadi.
Namun kejeniusannya datang dengan harga.
Setiap ciptaan baru menambah beban dalam pikirannya.
Dalam kesunyian, Eldran mulai bermimpi—penglihatan tentang masa depan yang tak mampu ia pahami.
Dalam mimpi itu, ia melihat cahaya berubah menjadi api… dan api itu melahap semua yang telah ia bangun.
Suatu malam, di dalam laboratoriumnya yang dipenuhi rune bercahaya dan energi biru yang berputar, ia menulis pesan terakhirnya di dinding:
"Waktu adalah makhluk yang tak bisa ditentang.
Setiap kejayaan akan jatuh, bahkan yang dibangun atas pengetahuan."
Ia tahu kerajaannya suatu hari akan runtuh.
Tapi ia juga tahu kehancuran hanyalah bagian dari siklus yang jauh lebih besar.
Sebelum napas terakhirnya, Eldran menciptakan Inti Valtherion—sebuah kristal yang dijalin dengan pola logika, berisi sepuluh persen dari pengetahuannya… dan jiwanya.
Ia bukan sekadar catatan, tapi fragmen dari keberadaannya sendiri.
Ia menyegelnya jauh di bawah kerajaan, di tempat yang tak tersentuh cahaya.
Saat fajar muncul, Eldran berbisik:
"Dari darahku, seseorang akan bangkit untuk menemukannya.
Dan ketika saat itu tiba… dunia akan berputar sekali lagi."
Tubuhnya lenyap dalam semburan cahaya biru.
Tak seorang pun pernah menemukan sisa-sisa raja pertama itu.
Namun malam itu, aurora menari di langit—warna yang belum pernah dilihat manusia.
Mereka menyebutnya Cahaya Pertama.
Berabad-abad berlalu.
Generasi demi generasi keturunan Valtherion membawa warisannya.
Teknologi mereka melampaui batas logika, dan kekaisaran mereka berkembang menjadi jantung dunia.
Namun sedikit yang tahu bahwa semua itu bermula dari pengorbanan seorang manusia yang menatap masa depan—dan memilih untuk percaya.
Dan jauh di bawah bumi, di dalam kristal itu, terdengar bisikan lembut, menunggu untuk dibangunkan.
"Orang yang memegang cahaya terakhir akan membawa dosa masa lalu… dan harapan esok hari."
Kristal itu berdenyut sekali—seperti jantung yang berdetak.
Lalu hening.
Dunia terus berputar, tanpa sadar bahwa sejarah baru saja menulis awal dari akhir.
