Cahaya kristal mereda perlahan, dan dari dalam pusaran biru itu… muncul satu sosok.
Bukan manusia.
Bukan pula mesin sepenuhnya.
Sebuah tubuh tinggi, tersusun dari rangka logam purba yang ditutupi lapisan cahaya padat. Matanya menyala seperti bara biru yang tidak pernah padam. Setiap langkahnya menggetarkan lantai, tapi ada sesuatu yang… hidup dalam gerakannya.
Pemuda itu membeku.
Nap breath hitched.
Sosok itu menatapnya tanpa emosi.
Seolah menilai seluruh tubuhnya hanya dengan satu pandangan.
Dan suara kristal bergaung:
"Pewaris Valtherion. Buktikan kelayakanmu."
Pria berjas hitam—yang tadi hendak menghabisinya—langsung tersentak mundur.
"Apa-apaan itu…? Itu proyek yang seharusnya...."
Kata-katanya terputus ketika sosok itu mengalihkan pandangan ke arahnya.
Hanya satu langkah.
Dan pria itu kaku seperti jantungnya berhenti.
Ketakutan merambat sampai ke wajahnya.
"Aku… aku bukan bagian dari ujian ini."
Ia mundur cepat, napasnya panik.
"Aku menarik diri, Aku tidak ingin—"
Sosok penjaga tidak mengejarnya.
Ia hanya tetap menatap pemuda itu.
Pemuda itu menelan ludah.
"Aku tidak tahu apa yang kau inginkan… tapi aku tidak akan mundur."
Tanah retak di bawah kaki penjaga.
Sepersekian detik kemudian—sosok itu meluncur.
Bukan lari.
Bukan teleportasi.
Tubuhnya bergeser seperti bayangan yang dibawa angin, cepat dan berbobot sekaligus.
Pukulan pertama menghajar udara.
Pemuda itu menunduk, tubuhnya bergerak alami, tidak terpikirkan, seperti refleks yang terlatih sejak kecil. Bahunya miring, kakinya berpindah ke sisi dalam, memotong jalur serangan tanpa harus menahan kekuatan langsung.
Serangan kedua menyusul—lebih cepat.
Ia menepis ke atas, memutar tubuh sedikit, membiarkan kekuatan lawan lewat di sampingnya sambil menjaga jarak tempur tetap rapat. Napasnya stabil meski denyut jantung berdesak.
Penjaga itu berhenti sejenak.
Seperti terkejut pemuda itu tak langsung remuk.
Cahaya di tubuhnya berkedip.
Lalu ia mengangkat tangan ke langit-langit—dan menghantam lantai.
Ledakan energi biru merambat seperti gelombang air, memukul seluruh ruangan. Debu berterbangan. Pipa-pipa tua berderak. Batu-batu runtuh dari atap.
Pemuda itu melompat mundur, memotong jalur shockwave itu dengan gerakan lincah yang membuat tubuhnya tetap rendah dan seimbang.
Gelombangnya lewat hanya beberapa sentimeter di depan wajahnya.
Pria berjas hitam terlempar seperti boneka, menghantam dinding dan langsung tergelincir tak bergerak.
"Kak—keparat…" gumamnya sebelum pingsan.
Kini hanya pemuda itu dan penjaga.
Penjaga itu menatapnya lagi. Ada sesuatu yang berubah di dalam sorot matanya.
Penilaian… atau pengakuan kecil.
Pemuda itu maju selangkah.
"Aku tidak akan lari."
Ia menarik napas.
Jari-jarinya mengepal.
Penjaga itu merespons dengan langkah perlahan maju, setiap langkah membuat ruangan bergetar.
Mereka berdua mendekat—
tidak buru-buru,
tidak panik,
dua tekad yang saling mengukur.
Lalu—
Gerakan mereka pecah berbarengan.
Pemuda itu masuk ke jarak dekat, memotong gerakan lawan dengan sentuhan cepat yang mengubah arah serangan besar menjadi meleset beberapa inci. Langkahnya mengikuti pola yang membuat tubuhnya tidak pernah diam di garis lurus selalu berubah sudut, selalu mencari celah.
Penjaga itu memutar tubuh, melancarkan pukulan horizontal yang bisa mematahkan tulang rusuk dalam sekali kena.
Pemuda itu turun rendah, menggeser kakinya seperti hembusan angin yang hampir tak terdengar, lalu bangkit cepat dengan sebuah hantaman ke bagian sambungan bahu penjaga.
Tidak keras.
Tapi tepat.
Sendi mekanis itu bergetar kehilangan keseimbangan.
Penjaga itu mundur satu langkah.
Hanya satu.
Tapi cukup untuk membuatnya menyadari:
Pemuda ini bukan sekadar pewaris nama.
Ia pewaris gerak.
Pewaris napas.
Pewaris insting.
Bukan teknologi Valtherion.
Tapi warisan yang jauh lebih tua.
Sosok penjaga berdiri tegak kembali.
Bara biru di matanya menyala lebih terang.
Dan dari dalam kristal, suara terdalam Eldran bergema:
"Ujian tahap kedua—dimulai."
Ruangan bergetar.
Dinding retak.
Cahaya membasuh segalanya.
Dan pemuda itu… tersenyum kecil.
"Kakek… kau benar-benar tidak membuatnya mudah, ya."
